PEREMPUAN DI TITIK NOL
Hari Sabtu waktunya kuliah dari pagi sampai sore. Jam 9 pagi sudah sampai dikampus tercinta UMJ, dengan semangat menaiki anak tangga menuju lantai 3. Sampai dikelas, sepi, ternyata dosennya sakit. Akhirnya waktu kosong 2 jam aku pakai untuk melihat-lihat skripsi mahasiswa komunikasi di sekretariat terus langsung ke kekoperasi, lihat-lihat buku baru.
Akhirnya terbelilah 2 buah buku, Jurnalisme Investigatif dan Perempuan di Titik Nol. Buku terakhir aku beli karena sinopsisnya yang menarik dan judulnya yang terdengar familiar, tapi aku lupa dimana. Sampai akhirnya Sulha, teman yang kerja dibiro iklan menyegarkan ingatanku. "Itu kemaren dipentasin, yang main Ria Irawan".
Sepanjang jam kedua Mr. Arbi Sanit ikutan ngak masuk, tapi diganti oleh Bu Endang, asistennya. Aku duduk dibarisan kedua, dibalik teman yang berbadan besar, sambil diam-diam membaca buku karangan Nalal El -Saadawi itu.
Menurut biografi yang tertulis dicover belakang, Nalal adalah seorang dokter Mesir yang dipecat dari instansi pemerintah karena sepak terjangnya yang dianggap berbahaya. Seorang penulis yangmemperjuangkan dan mengisahkan hak-hak kaum wanita. karya-karyanya: Women and Sex, The Hidden Face of Eve dan Woman Psychological Conflict, juga buku yang aku baca Perempuan di Titik Nol, yang diangkat dari sebuah kisah nyata.
Hanya ada 2 orang tokoh utama pada buku itu, Firdaus dan laki-laki. Firdaus seorang wanita Mesir yang sejak kecil berteman dengan kemiskinan, dan akhirnya memutuskan untuk berprofesi sebagai pelacur. Membaca buku itu membuatku bergidik, karena pasti ada saja paragraf yang bercerita tentang pelecehan seksual dan pemerkosaan yang dialami Firdaus. Dan kebanyakan pelakunya adalah laki-laki, muslim. Bahkan yang merenggut kesuciannya pertama kali adalah pamannya sendiri, seorang Syekh, yang mengajarinya membaca a, ba, ta, tsa.
Kisah Firdaus, sehari-hari aku temui juga saat mengedit Jelang Siang. Kisah Melan yang melahirkan 2 anak hasil perbuatan Abdul Khoir, ayah kandungnya sendiri. Kisah Sisi yang selama bertahun-tahun dibawah ancaman clurit, harus mau melayani nafsu ayah tirinya. Atau yang baru kemarin terjadi diKalisari dekat rumahku, 9 laki-laki merenggut kesucian seorang gadis pelajar.
Di negara yang mayoritas muslim, seringkali kutemui kisah kebejatan seorang laki-laki yang bahkan kadang tak masuk akal. Padahal pelakunya kebanyakan dikenal baik bahkan seorang nguru ngaji. Mungkin ini yang Ustadz Ichsan bilang, ini akibat jika manusia tidak menjadikan agama sebagai way of live. Agama seringkali didengung-dengungkan, tapi dalam prakteknya omong kosong. Seperti seorang ustadz yang rajin berceramah, jangan berzina!. Tapi matanya tak berkedip memandang seorang biduan dangdut bergoyang. Seperti sekelompok warga kampung dekat rumah, yang mendahului acara dangdutannya dengan mengadakan pengajian terlebih dahulu.
Kalau masyarakat kita seperti ini, rasanya mungkin sekali jika kita akan segera temui sosok-sosok Firdaus. yang membenci laki-laki, menolak pengacara untuk membelanya, dan memilih tiang gantungan sebagai pelepas segala deritanya.
No comments:
Post a Comment