Friday, March 19, 2004

2 PERMATA DIISTANAKU



2 pekan lalu ada masalah sepele dirumah, yang bikin malas pulang. Ditambah lagi kebakaran diTrans, waktu editing semakin mundur, klop, jadi ada alasan untuk habiskan malam dikantor. 2 hari kuhabiskan waktu berjibaku bareng Si Premiere ngedit Lacak. Telepon dari my father tak pernah kuangkat, sampai teman kantor memberitahu "dicariin orang rumah tuh, katanya 2 hari ngak pulang". Luruh juga, ternyata orang rumah masih ingat.

Memoryku terbang saat Jumat lalu, saat My Mom, bunda terkasih marah-marah. Kata-kata yang tak sepantasnya diucapkan seorang ibu terlontar dengan mudah, dan ada hati yang terluka. Ingat betapa kata-kata seorang ibu mumpuni, lalu mengapa begitu mudah perkataan kotor itu terlontar? Padahal sang anak hanya hendak merapihkan bunga-bunga ditaman yang kelihatan tak terurus, padahal sang anak hanya ingin biarkan tumbuhnya tunas baru saat ia pangkas habis tunas yang panjang. Namun niat baik tak selamanya berhasil baik, My Mom marah saat tanaman kesayangannya terpangkas, lalu diucapkan kata-kata yang tak pantas, dan sebuah hatipun terluka.

Ya, karena bundapun hanya manusia. Bukan malaikat yang isinya kebaikan semata, terkadang sifat kerasnyapun muncul, dan kamu harus memahaminya, begitu kata ayahanda. Ah, my father, ayahanda, atau yang biasa kupanggil bapak, semakin bijaksana. Dulu ia malah yang paling temperamen, bahkan bisa kulihat 2 tanduk muncul dikepalanya saat ia marah. Namun kini ia berbeda. Inikah hasilnya setelah kau malam-malam selalu berkumpul bersama orang-orang sederhana itu? Inikah hasilnya terpekurmu dalam buku-buku tebal karangan orang-orang bijak itu?

Sang kekasih memang maha adil, ia berikan 2 permata diistanaku. Yang kehadirannya saling mengimbangi satu sama lain. Bersikap bijaksana, saat yang lain alpa. 2 permataku, kedua orangtuaku.

(I always love you mom and dad)

Sunday, March 07, 2004

PERTANDA APA



Si adik riang sudah kembali, keputusannya mudah-mudahan bulat, ia akan bantu perjuangan diJakarta, bergabung bersamaku di negeri bertuhan rating ini. Bertiga, aku, Ami dan ia keluar makan malam ayam bakar yang lezat di tenda pinggir jalan. Pertemuan itu jadi ajang instropeksi sekaligus pelepas kerinduan. Ia terpekur mendengar wejangan kami, kakak-kakaknya, meskipun sesekali diselingi tawanya yang renyah, mudah-mudahan ia paham.

Tiba-tiba beberapa mobil pemadam kebakaran lewat, kami hanya celingukan. Seusai makan bersama, kami langsung menuju kantor, ternyata 2 mobil pemadam sudah diparkir diluar halaman Trans. Aku pikir, malam ini konser Iwan Fals, live, mungkin untuk mengusir penggemar yang nakal atau suka cari ribut, seperti mengusir pendemo. Tapi semakin kedalam, semakin banyak petugas pemadam dan polisi, 2 orang office boy membawa 2 ember berisi air. Semakin kedalam semakin ramai, tangga darurat dipenuhi air, orang-orang sibuk hilir mudik. Studio 4 terbakar! asapnya memenuhi ruang redaksi pemberitaan, semua komputer dimatikan, termasuk alat editku si Premiere. Semua sibuk memadamkan api dan membuang air lewat tangga darurat, teman-teman pemberitaan banyak yang menangis.

Aku hanya melihat-lihat, tidak membantu apa-apa, ada yang ahlinya sudah menangani, jangan sampai malah merepotkan karena bersikap bak pahlawan. Langsung menuju lantai 2, shalat Isya bareng Mona, cuma doa yang bisa kupanjatkan. TV masih menampilkan Iwan Fals dan Andi rif, live di Studio 1, hebat, dengan penonton yang tetap gembira, padahal satu lantai diatasnya sedang kritis. Ada pertanda apa? Apa ini kompensasi Sang Kekasih karena dag dig dut masih terus tayang? Apa ini peringatan karena tayangan klenik masih terus diproduksi? Atau ini hanya sekedar hasil dari kelalaian manusia belaka? Wallahualam...

(Mungkin kini saatnya kita kembali instropeksi diri)

Wednesday, March 03, 2004

PILIHAN YANG TERBAIK



Jumat itu, letih, setelah merapikan kantor My Father, yang baru dipakai untuk pertemuan saudara-saudari. Padahal besok Sabtu mau ujian, 3 mata kuliah, ada 3 paper juga yang harus dikumpulkan, sementara waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 malam. Begadang, itu pilihan terbaik. Tapi sebelumnya aku harus telepon seorang saudari, yang suara sedihnya malam itu tak bisa kulupa, suara dari hpku yang terpaksa kututup, karena ku tak mau menganggu perbincangan cukup serius bersama saudara saudari dimalam itu.

Pinjam telepon kantor My Father, terdengar suara berat sang sister, jujur aku tak ingat ia berkata apa, tapi yang pasti menyiratkan kesedihan, sedih karena perpisahan. Sister itu akan kembali ke Palembang, setelah setahun lebih bersama-sama berjuang di Trans, aku hanya bisa memberi wejangan sederhana, menguatkannya untuk membuat keputusan yang bulat. Kuberikan kalimat sakti yang biasa kugunakan.

"Masalah itu jadi berat karena manusia yang membuatnya berat, masalah itu jadi ringan, karena..."
"manusianya yang membuat jadi ringan..."
Ia selesaikan kalimat dariku itu. Ya, semoga ia tidak bosan berkali-kali kalimat itu sudah sering kuucapkan.

Akhirnya kuucapkan salam perpisahan, ikhlas melepasnya pergi, walau ada rasa kehilangan, membayangkan hari-hari yang kelak kujalankan tanpa celotehnya yang riang, pijitan dipunggung, rasa perhatiannya yang tanpa pamrih, dan ajakannya saat aku memulur waktu untuk berjumpa Sang Kekasih.

Dan minggu sore itu saat kuterpekur serius ngedit Lacak!. seorang teman menyodorkan telepon darimu, yang masih galau, masih bingung. Wajar, setiap manusia pasti menemui kegalauan saat harus menentukan pilihan, apalagi menyangkut masa depan dan orang-orang yang dicintainya.

Tapi kau harus buat keputusan dek, bahkan Sang kekasih masih memberimu kesempatan seminggu ini untuk uji banding. Hingga saatnya nanti hanya kau sendiri yang harus putuskan, kembali bersama suadara-saudara diPalembang, atau turut berjuang bersama kami di Jakarta. Tapi apapun keputusanmu itu, aku akan terima dengan sukacita, pun saat kau pilih untuk habiskan hidup disana, pun saat kau pilih untuk terus berjuang disini...

(Selamat beristikhoroh padaNya Dek Mona, Sang Kekasih akan selalu mendampingi)
SAUDARI-SAUDARI BARU



Setelah menempatkan Cap cay dikotak plastik, langsung cabut bareng Jupiter Orange ke rumah Mba Rahma. Tidak lupa jemput Alis, seorang saudari yang baru mau gabung. Sudah 3 minggu aku berkumpul dengan saudari-saudari baru ini, pribadi dengan latar belakang yang beragam dan mandiri. Didepan rumah Mba Rahma, sebuah kijang hijau diparkir sembarang, dibelakangnya terpasang poster FK-UI dan Bulan Sabit Merah, Aisya pasti sudah datang, seorang sister kelahiran Johar yang menyediakan diri jadi supir kami. Sesampainya didalam sudah terlihat kesibukan para ibu. Mbak Rahma yang tetap lincah packing dengan kandungan 9 bulan, Zulfa kelahiran th 80 yang menyuapi anaknya, dan Aisya yang terlihat lelah namun langsung menyalami saat kumasuk kedalam.

Pukul 8.30 akhirnya kami berangkat, semua perlengkapan sudah masuk bagasi. Tujuan kami Ragunan, dan Aisya berkali-kali minta ditunjukkan jalan, maklum bukan orang Jakarta. Sampai dipersimpangan Pasar Minggu, kami salah arah, karena jalan layang banyak yang sedang dibangun, dan bikin bingung, akhirnya dengan penuh kesabaran kami putar arah dikampus IISIP dan pasrah menghadapi jalur macet yang lumayan panjang.

"Wah...kalu disini tak beraturen, tapi tek ade kecelekaan,di Malaysia tuh, kerena sepi orang sering kebut-kebut, jadi banyak kecelekaan.." katanya menyikapi mobil-mobil yang serabat serubut dijalan.
"Ya kecelakaan tetap ada, tapi mungkin ngak sebanyak di Malaysia..." Mba Rahma yang juga pernah tinggal di Malaysia menimpali.

Sepanjang jalan tak pernah sepi, Zulfa yang menemani Aisya dibagian depan selalu menawarkan perbekalan. Ada combro, pisang goreng, dan Tanggo. Anaknya yang imut tertidur pulas dipangkuannya. Alis, Titi dan Titin mengobrol dibagian belakang, setelah sebelumnya saling berkenalan. Aku sibuk menghafal materi kultum, soalnya kali ini giliranku. HP Mbak Rahma terus berbunyi, Nesya pasti sedang menghubungi, seorang saudari yang harus kami jemput karena sudah berangkat duluan. Nah itu dia berdiri dipinggir jalan, lengkap dengan segala perbekalan. Ibu muda bertubuh mungil itu langsung masuk kedalam mobil sambil menebarkan senyum. Sekarang kelompok kami nyaris lengkap, minus Diah yang sedang terbaring lemah kena thypus, semoga cepat sembuh sister...

Akhirnya kami sampai di Ragunan, ramai, banyak anak sekolah yang sedang melakukan kunjungan. Para penjual boneka mulai menata dagangannya, lalu kami cari sebuah lokasi strategis yang teduh buat menggelar tikar. Dimulailah acara rutin kami, kali ini Nesya yang jadi MC, aku yang kasih kultum, dan Alis yang baca Riyadhus Shalihin. Kupandangi wajah-wajah lembut mereka, kepribadian yang halus yang mempesona, sebagian adalah ibu muda yang sudah Sang Kekasih beri kepercayaan untuk mengasuh beberapa bidadari cilik, dan aku diizinkan untuk berada didalamnya, bersama...Saudari-Saudari Baru, yang ikatannya abadi hingga akhirat nanti.

(Aku makin cinta, padaMu, Kekasihku...)