Monday, July 31, 2006

ABU HUDZAIFAH SAYANG

Dahulu banyak bayangan tergambar dibenak jika suatu saat ini akhirnya harus mengakhiri masa lajang. Segala persiapan, lahir bathin, pengorbanan, kepada sang calon kepala rumah tanggapun melintas dalam pikiran. Siap melayani, siap patuh, semuanya dalam rangka menggapai cinta yang lebih besar, cintanya Sang Kekasih, Allah SWT. Bahkan sampai saat seorang sister pernah berkata:

"Ah enaknya ya kalau sudah punya suami, bisa merebahkan kepala ini ke pundaknya."
"Jangan salah, justru nanti suami yang mengharapkan bisa merebahkan kepalanya si pundak kita." Sanggahku waktu itu.


Jadi saat masa-masa berakhirnya status lajang itu kian mendekat, semua tenaga sudah dikerahkan, semua mental telah dipersiapkan. Dan hasilnyapun tak jauh dari bayangan. Bulan-bulan pertama saat penyesuaian, segalanya tidak mudah, pun bagi yang sudah melakukan persiapan. Seandainya saja tak ada sekerat iman di hati, godaan syetanpun pasti mudah menghempaskan segalanya. Tapi Firman Sang Kekasih memang tak pernah ingkar.

Buah kesabaran adalah kenikmatan. Kini, setelah melalui masa-masa penyesuaian yang sulit, masa indahpun terhampar. Pengabdian tanpa pamrih berbuah kasih sayang, saling percaya berbuah ketenangan, cinta yang bersih berbuah benih suci didalam rahim.

Kini, tiada sehari tanpa 3 kecupan. Tiada sehari tanpa pelukan hangat. Tiada sehari tanpa gengaman erat dan tiada sehari tanpa belaian sayang. Pijatan yang menyegarkan di sepasang kaki yang letih, dan kesetiaan menemani dalam setiap kesempatan, dari seorang suami tercinta, Abu Hudzaifah sayang.

(“Sesungguhnya jika kamu bersyukur (atas segala nikmat yang diberikan), pasti Allah akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim 14: 7)

Wednesday, July 26, 2006

SEPAKAT ATAS KETIDAKSEPAKATAN

"Mba Salafi ya?" Seorang sister membuyarkan dzikir petangku disore itu. Kutatap sepasang mata penuh tanya yang pandangannya tertuju pada buku dzikir yang kupegang. Isinya, belum juga terhafal dalam ingatan.
"Kalau kamu berupaya mengamalkan syariah Islam, dengan sebenar-benarnya sesuai yang dijalankan Rasulullah dan para salafuh salih, kamu juga termasuk salaf..." Masih juga ada sedikit tanya di sepasang mata itu.
"Buku ini sama dengan matsurat kok, cuma lebih enak dibaca, dibawahnya langsung ada keterangan sumber hadist shahih yang digunakan" Ia mulai mengangguk, mudah-mudahan paham atas sedikit penjelasan yang diberikan.

Setiap manusia pasti akan berubah, tapi berubah menjadi lebih baik tentu itu yang diinginkan. Pun pada amalan sehari-hari yang kerap dilaksanakan. Semenjak rajin mendengarkan materi yang diberikan seorang Ustadz, pelan-pelan amalan harianpun mulai menjadi lebih baik. Lebih baik, karena setiap gerakan dan bacaannya persis mengikuti ajaran Sang Rasul. Tidak lebih tidak kurang.

Sementara pertemuan dengan para sisters setiap minggunya, juga memperbaiki amalanku yang lain. Hafalan yang makin bertambah, termotivasi untuk menyamai, apalagi ditambah kehadiran seorang sister baru yang seorang penghafal Qur'an. Baru berusia 31, dengan 3 anak, tapi sudah hampir hafal seluruh ayat-ayat Al-Qur'an. Subhanallah...

Alangkah indahnya hidup, jika terus bisa saling mengisi kekurangan, bukan justru memperuncing perbedaan. Jadi iri, pada seorang sister yang baru saja walimah, dan mendapat pendamping yang demikian bijaksana. Yang kerap hadir dalam kajian-kajian fiqh saudara-saudara bermanhaj salaf, namun tetap tak lepas dalam aktifitas politiknya bersama teman-teman tarbiyah. Tidak ada yang salah, semua benar selama bersumber pada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Yang salah adalah, jika merasa paling benar.

(Mulai kuhirup satu-satu manisnya madu dari bunga beraneka warna)

Thursday, July 20, 2006

TAMAN YANG INDAH

Seminggu sekali, masih kusempatkan hadir disebuah taman yang indah. Yang wajah pengunjungnya tampak teduh, hampir semuanya penghuni baru. Beberapa wajah lama sudah tak pernah hadir lagi, mengurusi hal yang lebih penting katanya, hal yang lebih penting daripada sekedar menyimak tausiah sang Ustadz.

Di 2 minggu pertama, Ustadz muda usia yang hadir disana, seorang pemuda lulusan sebuah sekolah ternama, di negeri suci umat Islam, Madinah. Semua pengunjung menyimak tausiyahnya dengan santai, sesuai pembawaan sang Ustadz yang ramah dan murah senyum, bercerita dengan fasihnya tentang sejarah hidup Sang Rasul. Mengungkap kisah-kisah yang sudah lama terlupakan, yang terganti dengan kisah bersejarah Lord of The Ring atau Harry Potter, yang kami ingat tokoh-tokohnya. Mulai dari Legolas yang tampan sampai para Org yang buruk rupanya. Tapi tidak Ibnu Abas, sang paman yang bijaksana...atau Khaulah binti Tsalabah yang gugatannya didengar hingga langit ke tujuh.

Di 2 minggu kedua, Ustadz setengah baya yang hadir disana. Selalu ditemani sang istri yang tertutup rapat auratnya hingga kewajah. Membahas tentang ibadah harian dengan gamblang dan tegas, apa adanya. Memperbaiki amalan harian kami yang terlihat sederhana tapi dalam maknanya. Bahwa ternyata sutrah sang pembatas wajib adanya, bahwa ternyata berdiri sejenak penting adanya, bahwa ternyata niat hanya ada didalam hati.

Tapi mudah-mudahan, 2 jam setiap minggunya hadir di taman indah, bisa menyegarkan ingatan. Betapa kisah hidup Sang Rasul jauh lebih hebat, hebat karena perjuangan didalamnya, hebat karena jauh lebih nyata, daripada sekedar imajinasi sang pengarang yang ditorehkan dalam buku yang tak terkira tebalnya. Betapa amalan yang sederhana penting adanya, untuk menjaga murninya Syariat, untuk benar-benar meneladani kseharian Sang Nabi tercinta.

(Andaikan para saudara yang tak sempat hadir, bisa juga menghirup indahnya ilmu dan nikmatnya ukuwah di taman ini, dan tidak merasa benar sendiri )
HUDZAIFAH SAYANG

28 Minggu usiamu, dengan bobot 1, 3 kilo saja. Kata sang dokter cantik yang kalem itu, beratmu normal, kondisimu sehat, yang bikin mata Abi sayank makin berbinar-binar. Apalagi saat dia bilang engkau akan terlahir sebagai calon mujahid yang kuat. Meski apapun jenis kelaminmu nanti, kami tetap akan curahkan segenap kasih sayang yang kami miliki.

Hudzaifah, itu satu-satunya nama yang terucap ketika Abi sayank bertanya, siapa namamu kelak. Umi ingat, Pemilik nama itu ratusan tahun silam, adalah sang Shaahibu Sirri Rasulullah, Pemegang Rahasia Rasulullah, ditakuti kaum munafik, dan punya disiplin yang tinggi. Kami ingin engkau kelak menjadi sepertinya, tak memaksa, sekuat kemampuanmu saja.

Kala surya mulai tenggelam, biasanya kau mulai tak bisa diam. Berkali-kali umi harus mengelusmu, membelai sayang, umi tak tahu apa kesibukanmu di balik dinding rahim yang gelap itu. Tapi umi tahu, belaian lembut selalu berhasil membuatmu tenang. Setenang tidurmu saat kami lantunkan ayat-ayat suci itu dipenghujung malam. Nyanyian terbaik dunia akherat, pembentuk akhlakmu kelak.

(Salam hangat Abi dan Umi tuk Hudzaifah sayang, tak sabar menanti kehadiranmu didunia yang indah ini)