Sunday, March 20, 2005

SEMOGA KAN TETAP SAMA



Kaget. Aku rasa sudah seharusnya, saat kau jawab e-mail yang menceritakan kemunduranmu dari barisan yang simbolnya dua pedang panjang bersilang. Meskipun seorang mas, sejak jauh-jauh hari mengatakan, kau sudah lama rajin mengikuti kajian-kajian itu. Katamu, banyak pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab, banyak kekecewaan dan banyak lainnya.

Biasa itu, kata seorang abang enteng. Ah Abang, aku belum terbiasa. Keberadaannya yang dulu, membuatku lebih nyaman mendiskusikan agenda dakwah, tenang bahwa diluar ikatan akidah sebagai sesama muslim, ada ikatan lain yang lebih erat, lebih kuat. Apalagi dia salah satu lokomotif dalam kereta dakwah kita. Di negeri bertuhan rating, yang dominasi warna tayangannya masih saja suram.

Tapi didalam manhaj itu, kau katakan telah menemukan kebenaran. Ya, semoga kebenaran yang kau temukan, tetap meningkatkan semangat dakwahmu, menjadikanmu manusia yang lebih baik dimata Sang Kekasih. Dan tidak melupakan tujuan keberadaanmu dinegeri ini.

(Semoga akan tetap sama, atau bahkan menjadi lebih baik, hubungan kita sebagai sesama muslim dan pengemban amanat dakwah?)
KEMATIAN ITU SPEKTAKULER



Kematian itu spektakuler, salah satu rahasia Sang Kekasih. Pagi ini, kuterima sms dari seorang sister, sebuah berita duka, ibunda seorang sister kami yang lain, Bunda Aklimah meninggal dunia pukul 03.00 dini hari. Suami sister kami itu mantan ketua DPRa, jadi tiap Sabtu sore kami pasti habiskan waktu untuk membahas agenda-agenda dakwah. Aku jadi teringat, wajah ramahnya yang tak lagi muda saat menerima kunjungan kami.

Bunda Aklimah, dengan penuh kesabaran mempersilahkan kami masuk, menyuguhkan kami minum. Pernah kulihat saat ia dengan sabar menyuapi suaminya, ayah sister kami, yang sudah terbaring lemah ditempat tidur sejak 2 tahun lalu, karena terserang stroke. Mengasuh salah satu cucunya, Aufa sigendut bulat, yang hiperaktif. Bahkan saat terakhir menjelang kematiannya, sebuah lemparan jambu klutuk hampir mengenai matanya. Namun ia tetap sabar mengasuh si Aufa kecil yang polos dan tidak tahu apa-apa. Sementara sisterku itu, anak Bunda Aklimah, Mbak Lia, merawat putri keduanya, Kayla, yang harus diopname dirumah sakit, dan dia sendiri yang nyaris diinfus karena diare.

Bunda Aklimah, yang sabar mendampingi suami, justru dipanggil terlebih dahulu oleh Sang Kekasih. Suaminya yang kini sudah duduk dikursi roda, memandang jasad kaku dengan tatapan hampa. Entah apa yang sedang dipikirkan.

(Kematian memang spektakuler, kapan datangnya tak ada yang tahu pasti. Tinggal kita bertanya pada diri sendiri, siapkah kita ketika kematian kan datang menghampiri?)