JANGAN MENYERAH
Sabtu itu, kembali lagi kutapaki tangga lusuh menuju lantai 2 kampusku tercinta. Seperti 2 tahun lalu, saat diri semangat mengejar mata kuliah di pagi hari bersama teman-teman yang kini sudah menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ditemani Abiyank, kumulai lagi memperbaiki tugas terakhir yang sempat tertunda setahun. Tertunda karena amanah yang Sang Kekasih berikan, meliput fakta, menikah dan dikaruniai buah hati tercinta.
Bapak bijak itu masih murah senyum, pun saat kukenalkan Abiyank padanya. Dosen senior yang sabar mendidik mahasiswinya, meskipun sang mahasiswi sudah setahun hampir melupakannya. Lagi, ia buka lembar demi lembar halaman itu, merevisinya sambil sesekali menanyakan kabarku, dan memberikan semangat untuk bisa menyelesaikannya.
Hingga Februari, ku takkan terbebani pekerjaan kantor, waktu hanyakan kucurahkan untuk memperbaiki amalan untuk Sang Kekasih, belajar menjadi ibu yang terbaik bagi Zaif dan menyelesaikan studi yang sempat tertunda. Harus bisa, jangan menyerah, karena Sang Kekasih akan memberikan jalan bagi mereka yang mau berusaha.
(Sebuah lompatan besar diawali dari satu langkah kecil)
Monday, November 20, 2006
2 LELAKIKU
Bayi kecilku
Namanya Hudzaifah, biasa dipanggil Zaif. Eyang Putrinya pernah coba memanggilnya Udza, tapi kularang, karena mirip dengan tuhannya kaum jahiliyah, Latta dan Uzza. Jadilah ia dipanggil Jaifff n'dut. Tampan, dengan wajah bulat dan pipi tembemnya. Hidung dan bibir yang imut hasil jiplakan dari umminya dan sepasang alis tebal mirip abinya. Usianya nyaris 2 bulan. Sudah murah senyum kepada siapa saja yang mengajaknya, dalam tidurnyapun kadang ia tersenyum, bahkan kepada temannya yang kasat mata. Zaif, jago minum asi, kalau sudah minum harus sampai puas, setelah itu kedua matanyapun mulai menutup, tertidur. Beratnya sudah 5 kilo lebih, nyaris naik 2 kilo dari beratnya saat baru melihat dunia. Padahal setiap hari ia bisa buang air sampai 8 kali, tapi ternyata tak berpengaruh pada berat badannya, pun gerakannya yang kian lincah. Coba saja, baru ditinggal sebentar, Zaif tahu-tahu sudah berguling dan tengkurap. Kakinya kuat, jangan dekat-dekat kalau tidak mau kena tendang. Selepas isya adalah waktunya Zaif istirahat, tidak pernah nangis di tengah malam, karena Asi sang ummi selalu tersedia disisinya. Malam itu ia tertidur, pulas ditemani Abi tercinta yang baru saja pulang selepas kajian. Zaif, bayi kecilku.
Bayi besarku
Abu Hudzaifah namanya, biasa dipanggil Abiyank singkatan dari Abi Sayang. Lelaki muda dengan segudang impian yang kami coba bangun bersama. Masih kikuk dengan kehadiran bayi kecilnya, menggendongpun masih takut-takut. Yang ia suka, mencium Zaif dengan jenggotnya dan senang ketika Zaif menggeliat kegelian. Abiyank yang menemani ummi mulai dari ruang observasi hingga Zaif lahir kedunia, bahkan mendokumentasikannya dengan handycam. Di ruang itu, gema takbirnya mengiringi kelahiran Zaif, memegangi tangan dan mencium kening ummi saat kelelahan usai melahirkan. Abi sayank baru belajar jadi Abi yang baik untuk Zaif, karenanya jauh-jauh hari sudah membangun rencana mau masukkan Zaif ke pesantren saat usia 6 tahun. Biar jadi hafiz qur'an katanya, biar jadi anak yang berbakti bagi agama, biar jadi Ustadz penerus generasi salafus salih. Malam itu, Abi sayank tertidur pulas di samping Zaif, menemai ummi, kalau-kalau Zaif perlu diganti popoknya atau minta disusui. Abi sayank, bayi besarku.
(Untuk Muhammad Firdaus dan Hudzaifah, 2 lelaki tercinta)
Friday, September 08, 2006
NYARIS
Malam itu seusai memeriksa kondisi Zaif didalam rahim. Alhamdulillah kata sang dokter yang cantik itu, kondisinya sehat, ukuran panggulkupun lumayan baik untuk jalan keluarnya. Usianya kini sudah 38 minggu. Kali ini Abi sayank tak bisa menemani, karena harus melaksanakan amanah rapat bersama teman-temannya di Cerita Sore.
Naik angkot, langsung kukeluarkan hp untuk menelepon Bapakku minta dijemput, tapi entah kenapa firasatku tak enak. Berbarengan naiknya 4 pemuda kedalam angkot, kumasukkan hp kembali kedalam tas kecil Eigerku. 2 orang duduk didepan, 2 nya lagi duduk disampingku. Pemuda yang persis duduk disamping membawa tas gemblok berukuran besar, dan terus menerus memepet pundakku, padahal bangku diangkot itu masih lega diduduki kami bertiga.
"Eh mas, bisa geseran sedikit gak..."
Mas yang persis duduk disampingku kaget, dan aku sendiri reflek melihat tangannya yang ternyata mulai menggerayangi tas kecilku. Kontan kulangsung marah dan mendorongnya menjauh. Kusiram saja kakinya dengan segelas aqua dingin yang sejak tadi kubawa. Suasana jadi hening, tak ada yang berani berbicara. Diam-diam kurogoh si Eiger dan ternyata semua masih ada ditempatnya dompet, pun hpku. Puih...nyaris. Tak berapa lama 2 orang pria dengan gelagat yang sama naik keangkot, yang satu membawa tas punggung juga. Ehmm...kukira mereka masih komplotan yang sama, kedua orang ini mungkin bertugas menerima transferan hasil curian sang kawan.
Tapi maaf, malam ini kalian tak bisa menikmati rizki haram itu. Pulang kerumah, kembali kucek si Eiger untuk kembali meyakinkan. Sekali lagi semuanya lengkap. Kukeluarkan buku kecil Dzkikir dan Petang yang biasa kubaca, karya Yazid bin Abdul Qadir Jawaz, pemberian Abi tercinta. Kubaca salah satu kutipan no 11 dari halaman 34:
"Barangsiapa membacanya sebanyak tiga kali ketika pagi dan sore hari, maka tidak ada sesuatupun yang membahayakan dirinya. (HR. At-Tirmidzi No. 3388)"
Tuesday, September 05, 2006
PARA PENCURI DENGAR
"Anaknya laki-laki mbak, ganteng" Kata sang bapak yang malam itu hadir ditemani istrinya yang cantik dan kalem plus 2 babysister yang mengawal kedua anak-anaknya. Pede sekali bapak ini, pikirku, tapi memang tebakannya benar. Insya Allah, bayi dalam kandunganku laki-laki. Tapi segala hal masih bisa terjadi bukan?. Meski demikian, aku memang akan lebih senang jika yang keluar dari rahimku nanti laki-laki, bukan apa-apa, hanya demi mematahkan ramalan para pencuri dengar, yang selalu memprediksi jenis kelamin bayiku adalah perempuan.
Sumedang Larang, Mei 2006.
Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 12 malam. Tapi di tengah balai pertemuan itu ratusan warga Sumedang Larang masih tumpah ruah ditengah-tengah balai. Laki-laki dan perempuan semuanya menari, tak terkendali diiringi asap dupa yang begitu menyengat. Mereka sedang melakukan salah satu tradisi kesenian Sumedang, Goong Renteng. Kehadiran seperangkat Goong yang bunyinya mengundang mahluk-mahluk gaib dari alam lain. Sepasang suami istri terlihat tak jauh didepanku, sang suami tak menari, hanya menjaga sang istri yang memang cantik dengan kerudung hitam selaras dengan gamis yang dikenakan. Ia bergerak mengikuti irama tabuhan Goong, gerakannya tak sembarang, menurutnya setiap gerakan membawa pesan, pesan dari arwah leluhur yang kerap merasuki tubuhnya. Berkali-kali gerakan tangannya mengajakku ikut bergabung ke tengah arena, tapi selalu kutolak. Tiba-tiba sang suami berjalan mendekati.
"Mbak, anaknya perempuan gak pa2 kan?" Katanya dengan wajah serius. Seolah ia telah mendapat wangsit dari arwah leluhur yang merasuki tubuh sang istri.
"Oh gak pa2, mau perempuan laki-laki yang penting sehat" Kataku sambil tersenyum.
Iapun kembali kehadapan sang istri, menjaganya dari campur baur yang tak terkendali.
Dunia Fantasi, Jakarta, Agustus 2006
Wanita itu tiba-tiba meminta selembar rambutku, katanya untuk sekedar iseng. Lalu dicopotnya cincin emas yang melingkar di jari manisnya. Dimasukkan sehelai rambutku kedalam cincin, lalu diputar-putar diatas telapak tanganku. Jika gerakannya maju mundur, katanya bayi dalam rahimku perempuan, jika bergerak memutar maka ia laki-laki.
Ajaib memang, tiba-tiba saja cincin bergerak maju mundur. Nah katanya anak pertamaku adalah perempuan. Diputarnya sekali lagi dan kali ini bergerak memutar, katanya anak keduaku laki-laki.
Begitu banyak teman-teman yang memprediksi jenis kelamin sang Bayi, meskipun aku tak memintanya. Buat aku yang kupinta hanya do'a. Karena begitu banyak bayi terlahir tak sempurna. Cukup sehat lahir, bathin itu saja. Laki-laki pun perempuan.
(Telah mengabarkan kepada kami Ali bin Abdillah dari Hisyam bin Yusuf dari Ma'mar dari Az-Zuhri dari Urwah bin Zubeir dari Aisyah r.a. berkata, "Orang-orang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang para dukun," beliau bersabda, "Tidak ada apa-apanya." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, mereka kadang-kadang bisa menceritakan sesuatu yang benar kepada kami. Maka Rasulullah SAW bersabda, "Kalimat tersebut berasal dari kebenaran yang dicuri oleh jin, kemudian dibisikkan ke telinga para walinya (dukun). Maka para dukun tersebut mencampurkan kalimat yang benar tersebut dengan seratus kedustaan."(HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad))
Wednesday, August 30, 2006
HALAQAH TERCINTA
Hanya bisa memvonis dan berkaca-kaca, tanpa mencari tahu apa yang sedang dialami sang mad'u. Bertanya kemunduran yang dialami, tanpa menyelidiki apa yang bergejolak didalam hati. Berharap sang mad'u bersikap dewasa, padahal tak ada salahnya pula bersikap tegas di awal-awal waktu. Seharusnya bisa terlebih dahulu bicara dari hati-kehati, sebelum membicarakan secara terbuka kemunduran salah satu sister yang katanya mereka cinta.
Ah, seharusnya aku berpikiran positif, saat sang bidadari datang menyambangi. Ya, itu sebutan untuk guruku, yang menurutku sempurna. Cantik, berpendidikan dan hidup berkecukupan. Menanyakan tentang prioritasku terhadap perkumpulan itu. Perkumpulan tiap pekan, yang didalamnya terdapat sisters dengan berbagai latar belakang. Yang mulai sering kutinggal karena aktifitasku sebagai penyampai fakta. Pun tugas-tugas yang belum terselesaikan sebagai pengganti ketidakhadiranku diberbagai acara.
Tapi aku sungguh bersyukur, kehadiran sang bidadari justru adalah cambuk yang membangunkanku dari keterpurukan. Cambuk yang menyadarkanku tuk kembali semangat untuk mengejar segala ketertinggalan. Cambuk yang menawarkan ujungnya tuk selamatkan diriku dari keterhanyutan. Sejauh kumasih merasa memerlukan kehadiran mereka untuk saling memotivasi dalam beribadah, meotivasi untuk saling mendekatkan diri kepadaNya.
(Insya Allah, kan kucoba memperbaiki segala hal yang ternah tertinggal)
Hanya bisa memvonis dan berkaca-kaca, tanpa mencari tahu apa yang sedang dialami sang mad'u. Bertanya kemunduran yang dialami, tanpa menyelidiki apa yang bergejolak didalam hati. Berharap sang mad'u bersikap dewasa, padahal tak ada salahnya pula bersikap tegas di awal-awal waktu. Seharusnya bisa terlebih dahulu bicara dari hati-kehati, sebelum membicarakan secara terbuka kemunduran salah satu sister yang katanya mereka cinta.
Ah, seharusnya aku berpikiran positif, saat sang bidadari datang menyambangi. Ya, itu sebutan untuk guruku, yang menurutku sempurna. Cantik, berpendidikan dan hidup berkecukupan. Menanyakan tentang prioritasku terhadap perkumpulan itu. Perkumpulan tiap pekan, yang didalamnya terdapat sisters dengan berbagai latar belakang. Yang mulai sering kutinggal karena aktifitasku sebagai penyampai fakta. Pun tugas-tugas yang belum terselesaikan sebagai pengganti ketidakhadiranku diberbagai acara.
Tapi aku sungguh bersyukur, kehadiran sang bidadari justru adalah cambuk yang membangunkanku dari keterpurukan. Cambuk yang menyadarkanku tuk kembali semangat untuk mengejar segala ketertinggalan. Cambuk yang menawarkan ujungnya tuk selamatkan diriku dari keterhanyutan. Sejauh kumasih merasa memerlukan kehadiran mereka untuk saling memotivasi dalam beribadah, meotivasi untuk saling mendekatkan diri kepadaNya.
(Insya Allah, kan kucoba memperbaiki segala hal yang ternah tertinggal)
Monday, July 31, 2006
ABU HUDZAIFAH SAYANG
Dahulu banyak bayangan tergambar dibenak jika suatu saat ini akhirnya harus mengakhiri masa lajang. Segala persiapan, lahir bathin, pengorbanan, kepada sang calon kepala rumah tanggapun melintas dalam pikiran. Siap melayani, siap patuh, semuanya dalam rangka menggapai cinta yang lebih besar, cintanya Sang Kekasih, Allah SWT. Bahkan sampai saat seorang sister pernah berkata:
"Ah enaknya ya kalau sudah punya suami, bisa merebahkan kepala ini ke pundaknya."
"Jangan salah, justru nanti suami yang mengharapkan bisa merebahkan kepalanya si pundak kita." Sanggahku waktu itu.
Jadi saat masa-masa berakhirnya status lajang itu kian mendekat, semua tenaga sudah dikerahkan, semua mental telah dipersiapkan. Dan hasilnyapun tak jauh dari bayangan. Bulan-bulan pertama saat penyesuaian, segalanya tidak mudah, pun bagi yang sudah melakukan persiapan. Seandainya saja tak ada sekerat iman di hati, godaan syetanpun pasti mudah menghempaskan segalanya. Tapi Firman Sang Kekasih memang tak pernah ingkar.
Buah kesabaran adalah kenikmatan. Kini, setelah melalui masa-masa penyesuaian yang sulit, masa indahpun terhampar. Pengabdian tanpa pamrih berbuah kasih sayang, saling percaya berbuah ketenangan, cinta yang bersih berbuah benih suci didalam rahim.
Kini, tiada sehari tanpa 3 kecupan. Tiada sehari tanpa pelukan hangat. Tiada sehari tanpa gengaman erat dan tiada sehari tanpa belaian sayang. Pijatan yang menyegarkan di sepasang kaki yang letih, dan kesetiaan menemani dalam setiap kesempatan, dari seorang suami tercinta, Abu Hudzaifah sayang.
(“Sesungguhnya jika kamu bersyukur (atas segala nikmat yang diberikan), pasti Allah akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim 14: 7)
Dahulu banyak bayangan tergambar dibenak jika suatu saat ini akhirnya harus mengakhiri masa lajang. Segala persiapan, lahir bathin, pengorbanan, kepada sang calon kepala rumah tanggapun melintas dalam pikiran. Siap melayani, siap patuh, semuanya dalam rangka menggapai cinta yang lebih besar, cintanya Sang Kekasih, Allah SWT. Bahkan sampai saat seorang sister pernah berkata:
"Ah enaknya ya kalau sudah punya suami, bisa merebahkan kepala ini ke pundaknya."
"Jangan salah, justru nanti suami yang mengharapkan bisa merebahkan kepalanya si pundak kita." Sanggahku waktu itu.
Jadi saat masa-masa berakhirnya status lajang itu kian mendekat, semua tenaga sudah dikerahkan, semua mental telah dipersiapkan. Dan hasilnyapun tak jauh dari bayangan. Bulan-bulan pertama saat penyesuaian, segalanya tidak mudah, pun bagi yang sudah melakukan persiapan. Seandainya saja tak ada sekerat iman di hati, godaan syetanpun pasti mudah menghempaskan segalanya. Tapi Firman Sang Kekasih memang tak pernah ingkar.
Buah kesabaran adalah kenikmatan. Kini, setelah melalui masa-masa penyesuaian yang sulit, masa indahpun terhampar. Pengabdian tanpa pamrih berbuah kasih sayang, saling percaya berbuah ketenangan, cinta yang bersih berbuah benih suci didalam rahim.
Kini, tiada sehari tanpa 3 kecupan. Tiada sehari tanpa pelukan hangat. Tiada sehari tanpa gengaman erat dan tiada sehari tanpa belaian sayang. Pijatan yang menyegarkan di sepasang kaki yang letih, dan kesetiaan menemani dalam setiap kesempatan, dari seorang suami tercinta, Abu Hudzaifah sayang.
(“Sesungguhnya jika kamu bersyukur (atas segala nikmat yang diberikan), pasti Allah akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim 14: 7)
Wednesday, July 26, 2006
SEPAKAT ATAS KETIDAKSEPAKATAN
"Mba Salafi ya?" Seorang sister membuyarkan dzikir petangku disore itu. Kutatap sepasang mata penuh tanya yang pandangannya tertuju pada buku dzikir yang kupegang. Isinya, belum juga terhafal dalam ingatan.
"Kalau kamu berupaya mengamalkan syariah Islam, dengan sebenar-benarnya sesuai yang dijalankan Rasulullah dan para salafuh salih, kamu juga termasuk salaf..." Masih juga ada sedikit tanya di sepasang mata itu.
"Buku ini sama dengan matsurat kok, cuma lebih enak dibaca, dibawahnya langsung ada keterangan sumber hadist shahih yang digunakan" Ia mulai mengangguk, mudah-mudahan paham atas sedikit penjelasan yang diberikan.
Setiap manusia pasti akan berubah, tapi berubah menjadi lebih baik tentu itu yang diinginkan. Pun pada amalan sehari-hari yang kerap dilaksanakan. Semenjak rajin mendengarkan materi yang diberikan seorang Ustadz, pelan-pelan amalan harianpun mulai menjadi lebih baik. Lebih baik, karena setiap gerakan dan bacaannya persis mengikuti ajaran Sang Rasul. Tidak lebih tidak kurang.
Sementara pertemuan dengan para sisters setiap minggunya, juga memperbaiki amalanku yang lain. Hafalan yang makin bertambah, termotivasi untuk menyamai, apalagi ditambah kehadiran seorang sister baru yang seorang penghafal Qur'an. Baru berusia 31, dengan 3 anak, tapi sudah hampir hafal seluruh ayat-ayat Al-Qur'an. Subhanallah...
Alangkah indahnya hidup, jika terus bisa saling mengisi kekurangan, bukan justru memperuncing perbedaan. Jadi iri, pada seorang sister yang baru saja walimah, dan mendapat pendamping yang demikian bijaksana. Yang kerap hadir dalam kajian-kajian fiqh saudara-saudara bermanhaj salaf, namun tetap tak lepas dalam aktifitas politiknya bersama teman-teman tarbiyah. Tidak ada yang salah, semua benar selama bersumber pada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Yang salah adalah, jika merasa paling benar.
(Mulai kuhirup satu-satu manisnya madu dari bunga beraneka warna)
"Mba Salafi ya?" Seorang sister membuyarkan dzikir petangku disore itu. Kutatap sepasang mata penuh tanya yang pandangannya tertuju pada buku dzikir yang kupegang. Isinya, belum juga terhafal dalam ingatan.
"Kalau kamu berupaya mengamalkan syariah Islam, dengan sebenar-benarnya sesuai yang dijalankan Rasulullah dan para salafuh salih, kamu juga termasuk salaf..." Masih juga ada sedikit tanya di sepasang mata itu.
"Buku ini sama dengan matsurat kok, cuma lebih enak dibaca, dibawahnya langsung ada keterangan sumber hadist shahih yang digunakan" Ia mulai mengangguk, mudah-mudahan paham atas sedikit penjelasan yang diberikan.
Setiap manusia pasti akan berubah, tapi berubah menjadi lebih baik tentu itu yang diinginkan. Pun pada amalan sehari-hari yang kerap dilaksanakan. Semenjak rajin mendengarkan materi yang diberikan seorang Ustadz, pelan-pelan amalan harianpun mulai menjadi lebih baik. Lebih baik, karena setiap gerakan dan bacaannya persis mengikuti ajaran Sang Rasul. Tidak lebih tidak kurang.
Sementara pertemuan dengan para sisters setiap minggunya, juga memperbaiki amalanku yang lain. Hafalan yang makin bertambah, termotivasi untuk menyamai, apalagi ditambah kehadiran seorang sister baru yang seorang penghafal Qur'an. Baru berusia 31, dengan 3 anak, tapi sudah hampir hafal seluruh ayat-ayat Al-Qur'an. Subhanallah...
Alangkah indahnya hidup, jika terus bisa saling mengisi kekurangan, bukan justru memperuncing perbedaan. Jadi iri, pada seorang sister yang baru saja walimah, dan mendapat pendamping yang demikian bijaksana. Yang kerap hadir dalam kajian-kajian fiqh saudara-saudara bermanhaj salaf, namun tetap tak lepas dalam aktifitas politiknya bersama teman-teman tarbiyah. Tidak ada yang salah, semua benar selama bersumber pada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Yang salah adalah, jika merasa paling benar.
(Mulai kuhirup satu-satu manisnya madu dari bunga beraneka warna)
Thursday, July 20, 2006
TAMAN YANG INDAH
Seminggu sekali, masih kusempatkan hadir disebuah taman yang indah. Yang wajah pengunjungnya tampak teduh, hampir semuanya penghuni baru. Beberapa wajah lama sudah tak pernah hadir lagi, mengurusi hal yang lebih penting katanya, hal yang lebih penting daripada sekedar menyimak tausiah sang Ustadz.
Di 2 minggu pertama, Ustadz muda usia yang hadir disana, seorang pemuda lulusan sebuah sekolah ternama, di negeri suci umat Islam, Madinah. Semua pengunjung menyimak tausiyahnya dengan santai, sesuai pembawaan sang Ustadz yang ramah dan murah senyum, bercerita dengan fasihnya tentang sejarah hidup Sang Rasul. Mengungkap kisah-kisah yang sudah lama terlupakan, yang terganti dengan kisah bersejarah Lord of The Ring atau Harry Potter, yang kami ingat tokoh-tokohnya. Mulai dari Legolas yang tampan sampai para Org yang buruk rupanya. Tapi tidak Ibnu Abas, sang paman yang bijaksana...atau Khaulah binti Tsalabah yang gugatannya didengar hingga langit ke tujuh.
Di 2 minggu kedua, Ustadz setengah baya yang hadir disana. Selalu ditemani sang istri yang tertutup rapat auratnya hingga kewajah. Membahas tentang ibadah harian dengan gamblang dan tegas, apa adanya. Memperbaiki amalan harian kami yang terlihat sederhana tapi dalam maknanya. Bahwa ternyata sutrah sang pembatas wajib adanya, bahwa ternyata berdiri sejenak penting adanya, bahwa ternyata niat hanya ada didalam hati.
Tapi mudah-mudahan, 2 jam setiap minggunya hadir di taman indah, bisa menyegarkan ingatan. Betapa kisah hidup Sang Rasul jauh lebih hebat, hebat karena perjuangan didalamnya, hebat karena jauh lebih nyata, daripada sekedar imajinasi sang pengarang yang ditorehkan dalam buku yang tak terkira tebalnya. Betapa amalan yang sederhana penting adanya, untuk menjaga murninya Syariat, untuk benar-benar meneladani kseharian Sang Nabi tercinta.
(Andaikan para saudara yang tak sempat hadir, bisa juga menghirup indahnya ilmu dan nikmatnya ukuwah di taman ini, dan tidak merasa benar sendiri )
Seminggu sekali, masih kusempatkan hadir disebuah taman yang indah. Yang wajah pengunjungnya tampak teduh, hampir semuanya penghuni baru. Beberapa wajah lama sudah tak pernah hadir lagi, mengurusi hal yang lebih penting katanya, hal yang lebih penting daripada sekedar menyimak tausiah sang Ustadz.
Di 2 minggu pertama, Ustadz muda usia yang hadir disana, seorang pemuda lulusan sebuah sekolah ternama, di negeri suci umat Islam, Madinah. Semua pengunjung menyimak tausiyahnya dengan santai, sesuai pembawaan sang Ustadz yang ramah dan murah senyum, bercerita dengan fasihnya tentang sejarah hidup Sang Rasul. Mengungkap kisah-kisah yang sudah lama terlupakan, yang terganti dengan kisah bersejarah Lord of The Ring atau Harry Potter, yang kami ingat tokoh-tokohnya. Mulai dari Legolas yang tampan sampai para Org yang buruk rupanya. Tapi tidak Ibnu Abas, sang paman yang bijaksana...atau Khaulah binti Tsalabah yang gugatannya didengar hingga langit ke tujuh.
Di 2 minggu kedua, Ustadz setengah baya yang hadir disana. Selalu ditemani sang istri yang tertutup rapat auratnya hingga kewajah. Membahas tentang ibadah harian dengan gamblang dan tegas, apa adanya. Memperbaiki amalan harian kami yang terlihat sederhana tapi dalam maknanya. Bahwa ternyata sutrah sang pembatas wajib adanya, bahwa ternyata berdiri sejenak penting adanya, bahwa ternyata niat hanya ada didalam hati.
Tapi mudah-mudahan, 2 jam setiap minggunya hadir di taman indah, bisa menyegarkan ingatan. Betapa kisah hidup Sang Rasul jauh lebih hebat, hebat karena perjuangan didalamnya, hebat karena jauh lebih nyata, daripada sekedar imajinasi sang pengarang yang ditorehkan dalam buku yang tak terkira tebalnya. Betapa amalan yang sederhana penting adanya, untuk menjaga murninya Syariat, untuk benar-benar meneladani kseharian Sang Nabi tercinta.
(Andaikan para saudara yang tak sempat hadir, bisa juga menghirup indahnya ilmu dan nikmatnya ukuwah di taman ini, dan tidak merasa benar sendiri )
HUDZAIFAH SAYANG
28 Minggu usiamu, dengan bobot 1, 3 kilo saja. Kata sang dokter cantik yang kalem itu, beratmu normal, kondisimu sehat, yang bikin mata Abi sayank makin berbinar-binar. Apalagi saat dia bilang engkau akan terlahir sebagai calon mujahid yang kuat. Meski apapun jenis kelaminmu nanti, kami tetap akan curahkan segenap kasih sayang yang kami miliki.
Hudzaifah, itu satu-satunya nama yang terucap ketika Abi sayank bertanya, siapa namamu kelak. Umi ingat, Pemilik nama itu ratusan tahun silam, adalah sang Shaahibu Sirri Rasulullah, Pemegang Rahasia Rasulullah, ditakuti kaum munafik, dan punya disiplin yang tinggi. Kami ingin engkau kelak menjadi sepertinya, tak memaksa, sekuat kemampuanmu saja.
Kala surya mulai tenggelam, biasanya kau mulai tak bisa diam. Berkali-kali umi harus mengelusmu, membelai sayang, umi tak tahu apa kesibukanmu di balik dinding rahim yang gelap itu. Tapi umi tahu, belaian lembut selalu berhasil membuatmu tenang. Setenang tidurmu saat kami lantunkan ayat-ayat suci itu dipenghujung malam. Nyanyian terbaik dunia akherat, pembentuk akhlakmu kelak.
(Salam hangat Abi dan Umi tuk Hudzaifah sayang, tak sabar menanti kehadiranmu didunia yang indah ini)
28 Minggu usiamu, dengan bobot 1, 3 kilo saja. Kata sang dokter cantik yang kalem itu, beratmu normal, kondisimu sehat, yang bikin mata Abi sayank makin berbinar-binar. Apalagi saat dia bilang engkau akan terlahir sebagai calon mujahid yang kuat. Meski apapun jenis kelaminmu nanti, kami tetap akan curahkan segenap kasih sayang yang kami miliki.
Hudzaifah, itu satu-satunya nama yang terucap ketika Abi sayank bertanya, siapa namamu kelak. Umi ingat, Pemilik nama itu ratusan tahun silam, adalah sang Shaahibu Sirri Rasulullah, Pemegang Rahasia Rasulullah, ditakuti kaum munafik, dan punya disiplin yang tinggi. Kami ingin engkau kelak menjadi sepertinya, tak memaksa, sekuat kemampuanmu saja.
Kala surya mulai tenggelam, biasanya kau mulai tak bisa diam. Berkali-kali umi harus mengelusmu, membelai sayang, umi tak tahu apa kesibukanmu di balik dinding rahim yang gelap itu. Tapi umi tahu, belaian lembut selalu berhasil membuatmu tenang. Setenang tidurmu saat kami lantunkan ayat-ayat suci itu dipenghujung malam. Nyanyian terbaik dunia akherat, pembentuk akhlakmu kelak.
(Salam hangat Abi dan Umi tuk Hudzaifah sayang, tak sabar menanti kehadiranmu didunia yang indah ini)
Tuesday, March 28, 2006
MERASA BUNDA
Inikah rasanya mengandung benih suci itu didalam rahim. Tiada nyaman, tiada ringan. Apalagi disaat beban pekerjaan tak pernah surut. Ingin hati memberikan yang terbaik, tapi apa daya kadang tenaga tak ada.
"Waktu mama ngandung kamu, sampai kamu lahir, masih mual-mual..."
Duh Bunda, si wonder woman. Aku memang gak sepadan. Kau sudah terbiasa mandiri sejak belia. Hingga kinipun kami sudah beranjak dewasa. Dengan penuh kesabaran masih kau tapakkan kaki tua itu untuk mengumpulkan sekeping rizki-Nya.
Jadi ingat, saat kau pernah bercerita. Bekerja, bekerja dan bekerja adalah aktifitas yang tak penah henti kau lakukan, bahkan saat mengandung ke-4 anakmu. Tak bekerja, justru membuat tubuhmu sakit tak karuan. Bagaimana bisa? Bahkan kini baru kukandung benih pertamaku saja, rasanya semua tenaga sudah habis terkuras. Untung ada kau selalu disisi, yang siap memberikan bantuan kapan saja, bahkan untuk melakukan pekerjaan yang sesungguhnya sudah tak layak dilakukan Bunda mulia seperti dirimu.
Pagi saat semburat merah itu hadir di ufuk angkasa, terdengar suaramu lirih mencoba membaca firman-Nya... terbata-bata. Alunan nadanya sudah jauh lebih indah dari hari-hari sebelumnya. Lalu dimulailah gerakan-gerakan senam itu, katamu itu gerakan senam terapi air Hembing, membuat tubuhmu jauh lebih sehat. Tak lama gemericik air terdengar diair terjun minimu, tak lupa menyirami mahluk Sang Kekasih lainnya, agar tumbuhnya tetap hijau dan memberikan ketenangan saat dipandang.
Hatimu tetap tenang, masih sempat tertawa saat beban hidup kian menghimpit dada. Tanpa pamrih, itu kuncinya. Lakukan semuanya dengan ikhlas, untuk 4 buah hatimu tercinta, maka semuanya...kan tampak indah dan bersahaja...
(Ah Bunda, tak layak kumerasa dirimu)
Inikah rasanya mengandung benih suci itu didalam rahim. Tiada nyaman, tiada ringan. Apalagi disaat beban pekerjaan tak pernah surut. Ingin hati memberikan yang terbaik, tapi apa daya kadang tenaga tak ada.
"Waktu mama ngandung kamu, sampai kamu lahir, masih mual-mual..."
Duh Bunda, si wonder woman. Aku memang gak sepadan. Kau sudah terbiasa mandiri sejak belia. Hingga kinipun kami sudah beranjak dewasa. Dengan penuh kesabaran masih kau tapakkan kaki tua itu untuk mengumpulkan sekeping rizki-Nya.
Jadi ingat, saat kau pernah bercerita. Bekerja, bekerja dan bekerja adalah aktifitas yang tak penah henti kau lakukan, bahkan saat mengandung ke-4 anakmu. Tak bekerja, justru membuat tubuhmu sakit tak karuan. Bagaimana bisa? Bahkan kini baru kukandung benih pertamaku saja, rasanya semua tenaga sudah habis terkuras. Untung ada kau selalu disisi, yang siap memberikan bantuan kapan saja, bahkan untuk melakukan pekerjaan yang sesungguhnya sudah tak layak dilakukan Bunda mulia seperti dirimu.
Pagi saat semburat merah itu hadir di ufuk angkasa, terdengar suaramu lirih mencoba membaca firman-Nya... terbata-bata. Alunan nadanya sudah jauh lebih indah dari hari-hari sebelumnya. Lalu dimulailah gerakan-gerakan senam itu, katamu itu gerakan senam terapi air Hembing, membuat tubuhmu jauh lebih sehat. Tak lama gemericik air terdengar diair terjun minimu, tak lupa menyirami mahluk Sang Kekasih lainnya, agar tumbuhnya tetap hijau dan memberikan ketenangan saat dipandang.
Hatimu tetap tenang, masih sempat tertawa saat beban hidup kian menghimpit dada. Tanpa pamrih, itu kuncinya. Lakukan semuanya dengan ikhlas, untuk 4 buah hatimu tercinta, maka semuanya...kan tampak indah dan bersahaja...
(Ah Bunda, tak layak kumerasa dirimu)
Friday, February 10, 2006
DETAK JANTUNG ITU
Sudah lebih 2 bulan, perut ini rasanya tak karuan. Membuat diri tak nyaman dan hilang kesabaran. Lalu mulailah sensasi itu datang, saat mentari terbit dan terbenam. Bahkan parfum non alkohol Abi tersayangpun, terasa tak nyaman. Bergolak didalam perut, naik keatas tenggorokan, dan meluncur melalui indra pengecap. Makan tak berselera, karena semua hidangan selezat apapun terasa masam. Lalu hatipun mulai bertanya-tanya.
Esoknya menjelang shubuh, sebuah stick kecil kupandangi dengan jantung berdebar. Rembesan cairan dibawahnya merambat naik, hasilkan satu tanda strip merah. Pelan-pelan, lalu...dua strip merah!. Kupandangi sekali lagi. Kutunjukkan stick itu pada Abi tersayang yang baru pulang dari jammaahnya dimasjid depan. Ia terpana. Lalu, sebuah dekapan dan ciuman hangat itupun langsung menyergap.
"Sudah 2 bulan...itu lihat detak jantungnya..." seru dokter wanita yang tak banyak bicara, sambil menunjuk sebuah layar biru disisiku.
Dan aku hanya bisa memandang dengan perasaan takjub.
Kini, ku tak lagi hilang kesabaran. Walau rasa mual itu masih kerap detang, semuanya terganti dengan perasaan bahagia luar biasa. Bahagia karena ada melodi indah yang selalu menemani, yang datangnya dari, sebuah detak jantung,... didalam rahimku.
(Thank U Allah, for the best gift You give to us)
Sudah lebih 2 bulan, perut ini rasanya tak karuan. Membuat diri tak nyaman dan hilang kesabaran. Lalu mulailah sensasi itu datang, saat mentari terbit dan terbenam. Bahkan parfum non alkohol Abi tersayangpun, terasa tak nyaman. Bergolak didalam perut, naik keatas tenggorokan, dan meluncur melalui indra pengecap. Makan tak berselera, karena semua hidangan selezat apapun terasa masam. Lalu hatipun mulai bertanya-tanya.
Esoknya menjelang shubuh, sebuah stick kecil kupandangi dengan jantung berdebar. Rembesan cairan dibawahnya merambat naik, hasilkan satu tanda strip merah. Pelan-pelan, lalu...dua strip merah!. Kupandangi sekali lagi. Kutunjukkan stick itu pada Abi tersayang yang baru pulang dari jammaahnya dimasjid depan. Ia terpana. Lalu, sebuah dekapan dan ciuman hangat itupun langsung menyergap.
"Sudah 2 bulan...itu lihat detak jantungnya..." seru dokter wanita yang tak banyak bicara, sambil menunjuk sebuah layar biru disisiku.
Dan aku hanya bisa memandang dengan perasaan takjub.
Kini, ku tak lagi hilang kesabaran. Walau rasa mual itu masih kerap detang, semuanya terganti dengan perasaan bahagia luar biasa. Bahagia karena ada melodi indah yang selalu menemani, yang datangnya dari, sebuah detak jantung,... didalam rahimku.
(Thank U Allah, for the best gift You give to us)
Wednesday, January 18, 2006
MESKI SEBESAR ZARRAH
Malam itu, didalam istana kami. Piring-piring dan gelas kotor menghiasi kitchen sink, bekas kuah sayuran tampak berceceran dimeja makan. Juga ceceran air gula, yang sedang digerumuti semut dengan tekunnya. Tak jauh dari situ, Ayankku tengah serius menyiapkan jatah malam satpam komplek kami, meramu gula, kopi dan cemilan sebagai teman mereka terjaga semalaman.
"Sayang, boleh gak ini dibersihkan..." tanyaku menunjuk sekumpulan semut diatas keramik kitchen sink. Selembar topo sudah siap dalam genggaman.
"Jangan sayang....biarin mereka hidup. Mereka kan gak jahat sama kita. Ingat lho semua yang kita lakukan akan diperhitungkan, meski sebesar zarrah..."
Meski sebesar zarrah. Kalimat itu begitu ringan diucapkan, tapi dalam maknanya terasa. Padahal pikirannku tengah berbalik kebelakang, mengingat berapa juta semut yang sudah mati dalam injakan, dalam ayunan sapu ijuk disudut-sudut bangunan istana kami, pun siraman shower di kamar mandi.
Mengingat, padahal hingga saat ini belum ada satu semutpun yang pernah menggigit tubuh, meyakiti diri. Dan aku yang begitu dendamnya, tanpa memikirkan apa salah mereka, membunuh dengan mudahnya.
(Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya ia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. QS Az-Zalzalah:7-8)
Malam itu, didalam istana kami. Piring-piring dan gelas kotor menghiasi kitchen sink, bekas kuah sayuran tampak berceceran dimeja makan. Juga ceceran air gula, yang sedang digerumuti semut dengan tekunnya. Tak jauh dari situ, Ayankku tengah serius menyiapkan jatah malam satpam komplek kami, meramu gula, kopi dan cemilan sebagai teman mereka terjaga semalaman.
"Sayang, boleh gak ini dibersihkan..." tanyaku menunjuk sekumpulan semut diatas keramik kitchen sink. Selembar topo sudah siap dalam genggaman.
"Jangan sayang....biarin mereka hidup. Mereka kan gak jahat sama kita. Ingat lho semua yang kita lakukan akan diperhitungkan, meski sebesar zarrah..."
Meski sebesar zarrah. Kalimat itu begitu ringan diucapkan, tapi dalam maknanya terasa. Padahal pikirannku tengah berbalik kebelakang, mengingat berapa juta semut yang sudah mati dalam injakan, dalam ayunan sapu ijuk disudut-sudut bangunan istana kami, pun siraman shower di kamar mandi.
Mengingat, padahal hingga saat ini belum ada satu semutpun yang pernah menggigit tubuh, meyakiti diri. Dan aku yang begitu dendamnya, tanpa memikirkan apa salah mereka, membunuh dengan mudahnya.
(Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya ia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. QS Az-Zalzalah:7-8)
Subscribe to:
Posts (Atom)