MENJADI ISTRI SEJATI
"Kan gak enak Lies, seandainya dia pulang kerumah, cape, ingin ketemu istrinya, istrinya sudah berangkat dari pagi, tugas. Aku mau kalau dia pulang kerumah, aku ada untuk melayaninya."
Subhanallah. Itulah kata yang selalu terucap dari mulutku, ketika ada seseorang yang menyebut namanya. Seorang saudari, salah satu patih terbaik di negeri bertuhan rating. Sutradara handal, berkepala dingin, cerdas, dan rendah hati. Pertama kali mengenalnya saat kami menginap setengah purnama. Di sebuah hotel tua, Jogjakarta. Saat itu para calon patih yang masih muda belia, digemleng tuk jadi patih handal. Dan sang saudari mendapat amanah tuk menjadi seorang 'audiowoman'.
Satu-satunya audiowoman saat itu. Lincah, cekatan. Menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Pun beberapa waktu lalu, saat masih menguasai control room itu dengan salah satu anak buah yang siap merekam gambar cantik di studio, yang tak lain adalah kekasihnya. Calon suaminya. Dari audiowoman kini menjadi director.
Jabatan yang tak mudah diperoleh, hanya orang-orang pilihan. Pasti dengan imbalan gaji yang sepadan. Tapi ia ternyata punya pilihan lain, yang jauh, jauh lebih mulia, lebih berharga dari jabatannya saat itu.
"Aku sekarang usaha sendiri, ya jual-jual baju deh, wiraswasta..."
Mengikuti jejak pemimpinnya Rasulullah, dan kekasihnya tercinta Khadijah. Satu jalan mulia yang tak kan mudah ditapaki, oleh orang-orang biasa.
(Untuk Yusiani, kagumku padamu)
Friday, December 23, 2005
Wednesday, December 21, 2005
MELEWATI JALAN ITU...
Tiap malam. Melewati jalan itu, memorikupun terbang. Saat beberapa waktu lalu, pada peristiwa yang makin mengukuhkanku untuk membina masa depan bersama dirinya. Hampir tengah malam, saat melalui jalan yang masih saja ramai, ban depan jupi sempat ngadat. Jarak jauh kerumah, membuat my father tak mampu berbuat apa.
"Cari aja tukang tambal ban disekitar situ, pasti ada, hati-hati yaa nak..."
Pikirankupun melayang. Mencari sosok, yang bisa mengulurkan tangan. Di tengah malam, yang masih saja ramai. Sebuah wajah hadir dipelupuk mata. Entah malaikat atau mahluk lain yang menuntun tanganku menekan nomor itu. Lalu terdengarlah suara dari jarak 4 kilometer jauhnya.
"Posisinya dimana?...ya udah tunggu ya...hati-hati..."
Dan datanglah ia, dengan jaket setengah kuyup ia tanyakan kondisiku. Menuntun si Jupi perlahan-lahan didepan. Menemani malam hingga diri kembali keperaduan. Kini. Masih harus kulewati jalan itu. Saat dirinya berada nun jauh disana. Sebuah pulau kecil, pulau dewata kedua pelancong dunia. Menunaikan amanah dari negeri bertuhan rating.
Masih 3 malam kan kulewati sendiri, hanya bersama Sang Kekasih sejati.
(Miss u so much honey..)
Tiap malam. Melewati jalan itu, memorikupun terbang. Saat beberapa waktu lalu, pada peristiwa yang makin mengukuhkanku untuk membina masa depan bersama dirinya. Hampir tengah malam, saat melalui jalan yang masih saja ramai, ban depan jupi sempat ngadat. Jarak jauh kerumah, membuat my father tak mampu berbuat apa.
"Cari aja tukang tambal ban disekitar situ, pasti ada, hati-hati yaa nak..."
Pikirankupun melayang. Mencari sosok, yang bisa mengulurkan tangan. Di tengah malam, yang masih saja ramai. Sebuah wajah hadir dipelupuk mata. Entah malaikat atau mahluk lain yang menuntun tanganku menekan nomor itu. Lalu terdengarlah suara dari jarak 4 kilometer jauhnya.
"Posisinya dimana?...ya udah tunggu ya...hati-hati..."
Dan datanglah ia, dengan jaket setengah kuyup ia tanyakan kondisiku. Menuntun si Jupi perlahan-lahan didepan. Menemani malam hingga diri kembali keperaduan. Kini. Masih harus kulewati jalan itu. Saat dirinya berada nun jauh disana. Sebuah pulau kecil, pulau dewata kedua pelancong dunia. Menunaikan amanah dari negeri bertuhan rating.
Masih 3 malam kan kulewati sendiri, hanya bersama Sang Kekasih sejati.
(Miss u so much honey..)
Thursday, December 08, 2005
DIKUNJUNGI GENERASI GHUROBA
Malam itu bernafas sejenak setelah sampai di istana kami nan megah. Selepas seharian pergumulan di negeri bertuhan rating, dan perjalanan panjang mengendarai si Jupi yang semakin hari semakin terlihat lusuh. Datanglah 2 saudara. Kumenyebutnya 2 saudara dari generasi ghuroba*. Generasi yang aneh, pun dimataku sendiri yang sesama muslim. Takjub melihat penampilan mereka, kagum terhadap amalan Rasullulah yang konsisten mereka amalkan. Tanpa isbal*, tanpa beradu mata, dengan untaian rambut rapih dibawah bibir, dan wangi semerbak non alkohol yang nikmat dihirup.
Salah satu dari mereka, sahabat, teman dan guru dari Abi sayankku. Ayankku yang ghiroh*nya sedang tinggi. Mencontohi amalan Sang Rasul. Berupaya sama konsistennya dengan mereka.
"Ini buku-buku yang antum minta, ane saranin beli yang ini bagus sekali isinya..."
Disodorkannya sebuah buku pink berjudul "Menanti si Buah Hati". Aku hanya tersenyum, sambil coba membaca isinya. Kami memang sedang menunggu si Buah Hati. Tapi Ayankku kurang berminat. Ada buku-buku lain yang menjadi prioritasnya saat ini, isinya tentang doa-doa dzikir pagi dan petang berdasarkan hadist shahih, juga buku yang berjudul "Adakah Musik Islami?", "Adakah Sandiwara, Film, Sinetron Islami?"....
"Wah antum gak boleh kebanyakan baca buku, ntar banyakan gak bolehnya..."
Salah satu saudara berkata. Basa-basi tentunya. Aku hanya tersenyum. Masih membolak-balik satu buku. Mencoba membaca isinya. Gagal. Karena pikiran yang melayang. Membayangkan masa depan, bersama Ayankku....
(Tamanpun menjadi indah karena bunganya yang berwarna-warni)
*ghuroba = aneh
isbal = memakai celana melebihi batas mata kaki
ghiroh = semangat
Malam itu bernafas sejenak setelah sampai di istana kami nan megah. Selepas seharian pergumulan di negeri bertuhan rating, dan perjalanan panjang mengendarai si Jupi yang semakin hari semakin terlihat lusuh. Datanglah 2 saudara. Kumenyebutnya 2 saudara dari generasi ghuroba*. Generasi yang aneh, pun dimataku sendiri yang sesama muslim. Takjub melihat penampilan mereka, kagum terhadap amalan Rasullulah yang konsisten mereka amalkan. Tanpa isbal*, tanpa beradu mata, dengan untaian rambut rapih dibawah bibir, dan wangi semerbak non alkohol yang nikmat dihirup.
Salah satu dari mereka, sahabat, teman dan guru dari Abi sayankku. Ayankku yang ghiroh*nya sedang tinggi. Mencontohi amalan Sang Rasul. Berupaya sama konsistennya dengan mereka.
"Ini buku-buku yang antum minta, ane saranin beli yang ini bagus sekali isinya..."
Disodorkannya sebuah buku pink berjudul "Menanti si Buah Hati". Aku hanya tersenyum, sambil coba membaca isinya. Kami memang sedang menunggu si Buah Hati. Tapi Ayankku kurang berminat. Ada buku-buku lain yang menjadi prioritasnya saat ini, isinya tentang doa-doa dzikir pagi dan petang berdasarkan hadist shahih, juga buku yang berjudul "Adakah Musik Islami?", "Adakah Sandiwara, Film, Sinetron Islami?"....
"Wah antum gak boleh kebanyakan baca buku, ntar banyakan gak bolehnya..."
Salah satu saudara berkata. Basa-basi tentunya. Aku hanya tersenyum. Masih membolak-balik satu buku. Mencoba membaca isinya. Gagal. Karena pikiran yang melayang. Membayangkan masa depan, bersama Ayankku....
(Tamanpun menjadi indah karena bunganya yang berwarna-warni)
*ghuroba = aneh
isbal = memakai celana melebihi batas mata kaki
ghiroh = semangat
Wednesday, November 16, 2005
AKHIRNYA IA DIJEMPUT PARA MALAIKAT
"Mba sudah tahu?"
"Ya.."
"Bulek Tini dah meninggal dah tahu..."
"Ya..."
Endah adik ketigaku, yang sehari-harinya tak banyak bicara, membawa berita itu. Bulek Tini, tantenya My Mom, yang seharusnya aku panggil Mbah, akhirnya dijemput para malaikat 2 hari lalu, pukul 11 siang. Mendengar berita aku hanya bisa menerawang. Apakah ini...akhir penderitaannya setelah berbulan-bulan digerogoti kanker payudara yang menyebar keseluruh tubuh. Atau justru...awal penderitaan, awal penderitaan dialam yang lain, alam dimana para malaikat datang dengan serentetan pertanyaan.
Mbahku yang masih muda usia, sibungsu dari puluhan bersaudara, berpindah keyakinan setelah dipinang kekasih pilihannya. Agama rahmat bagi seluruh umat, ia lepas demi memeluk agama dari pulau dewata. Selama belasan tahun hidupya terlihat bahagia. Dikaruniai 2 anak, putri cantik bermata sayu yang pandai melenggangkan berbagai tari, dan putra tampan yang tak banyak bicara. Hidup dari sebuah toko sederhana. Hingga...
Hingga penyakit itu datang. Kanker yang menggerogoti tubuh mungilnya. Satu payudaranya terpaksa diangkat. Tapi ternyata akar-akar kanker itu sudah membenam kebagian tubuh lain, menyebar, membunuh sel-sel hidup ditubuhnya. My mom, pernah merasa bersalah. Karena beliaulah yang mengenalkan dengan sang kekasih pujaan yang berbeda keyakinan.
"Mama dah bilangin, bulik, kalau mau sembuh, bulik harus ngucap syahadat lagi, tapi dia bilang wis, podo bae, kabeh nyembah gusti alah sing tunggal, ya...Tuhan..."
Akhirnya My mompun tak kuasa berbuat lebih. Begitupun aku, saat detik-detik terakhir, mencoba sembunyi-sembunyi berbisik lirih ketelinganya.
"Mbah, minta sama Allah saja ya...bilang, Allah saya mohon disembuhkan dari segala penyakit, saya meyakikinimu sebagai Tuhanku...ingat Allah saja ya mbah..."
Tapi kini tubuhnya telah terbujur kaku. Pucat. Dikelilingi asap dupa yang dibawa para kerabat. Para tetua tak henti mendendangkan kidung-kidung kesedihan menyanyat disekitar jasad. Puluhan pelayat dengan seutas kain hijau atau kuning keemasan terikat dipinggang, memenuhi halaman depan. Lusa usai purnama besar, tubuh Le Tiniku akan dikremasi, abunya sebagian dilarung kelaut, dan jiwanya....
(Masih bisakah kupanjatkan harap?)
Kuangkat hp yang deringnya berdendang bulan dan bintang saujana, salah satu nasyid favoritku.
"Mba sudah tahu?"
"Ya.."
"Bulek Tini dah meninggal dah tahu..."
"Ya..."
Endah adik ketigaku, yang sehari-harinya tak banyak bicara, membawa berita itu. Bulek Tini, tantenya My Mom, yang seharusnya aku panggil Mbah, akhirnya dijemput para malaikat 2 hari lalu, pukul 11 siang. Mendengar berita aku hanya bisa menerawang. Apakah ini...akhir penderitaannya setelah berbulan-bulan digerogoti kanker payudara yang menyebar keseluruh tubuh. Atau justru...awal penderitaan, awal penderitaan dialam yang lain, alam dimana para malaikat datang dengan serentetan pertanyaan.
Mbahku yang masih muda usia, sibungsu dari puluhan bersaudara, berpindah keyakinan setelah dipinang kekasih pilihannya. Agama rahmat bagi seluruh umat, ia lepas demi memeluk agama dari pulau dewata. Selama belasan tahun hidupya terlihat bahagia. Dikaruniai 2 anak, putri cantik bermata sayu yang pandai melenggangkan berbagai tari, dan putra tampan yang tak banyak bicara. Hidup dari sebuah toko sederhana. Hingga...
Hingga penyakit itu datang. Kanker yang menggerogoti tubuh mungilnya. Satu payudaranya terpaksa diangkat. Tapi ternyata akar-akar kanker itu sudah membenam kebagian tubuh lain, menyebar, membunuh sel-sel hidup ditubuhnya. My mom, pernah merasa bersalah. Karena beliaulah yang mengenalkan dengan sang kekasih pujaan yang berbeda keyakinan.
"Mama dah bilangin, bulik, kalau mau sembuh, bulik harus ngucap syahadat lagi, tapi dia bilang wis, podo bae, kabeh nyembah gusti alah sing tunggal, ya...Tuhan..."
Akhirnya My mompun tak kuasa berbuat lebih. Begitupun aku, saat detik-detik terakhir, mencoba sembunyi-sembunyi berbisik lirih ketelinganya.
"Mbah, minta sama Allah saja ya...bilang, Allah saya mohon disembuhkan dari segala penyakit, saya meyakikinimu sebagai Tuhanku...ingat Allah saja ya mbah..."
Tapi kini tubuhnya telah terbujur kaku. Pucat. Dikelilingi asap dupa yang dibawa para kerabat. Para tetua tak henti mendendangkan kidung-kidung kesedihan menyanyat disekitar jasad. Puluhan pelayat dengan seutas kain hijau atau kuning keemasan terikat dipinggang, memenuhi halaman depan. Lusa usai purnama besar, tubuh Le Tiniku akan dikremasi, abunya sebagian dilarung kelaut, dan jiwanya....
(Masih bisakah kupanjatkan harap?)
Wednesday, October 12, 2005
DIA LELAKIKU
Juli 2005
Dalam akhir salam diujung shalat malam selalu kupanjatkan. "Ya Allah, berikanlah aku pendamping yang mencintaiMu lebih dari rasa cintaku mencintaiMu, yang menyenangkan jika dipandang, yang mau menerimaku apa adanya..."
Agustus 2005
Datanglah dia. Sesosok perekam fakta didunia bertuhan rating. Menawarkan selaksa asa berbekal keberanian untuk merangkai cerita-cerita masa depan. Sosok yang menyenangkan dipandang, bersedia menerima diri apa adanya, meskipun baru belajar untuk mencintai Sang Kekasih melebihi diatas segalanya.
September 2005
Dua hari dipenghujung bulan suci janji itu terucap. Janji mengarungi samuderaNya bersama. Janji saling setia dalam suka maupun duka. Janji merangkai cita-cita dunia akhirat tak lain tuk gapai ridhoNya. Kami berdua, aku dan dia, lelakiku. Partner, sahabat, suami tercinta, dalam meniti jalan panjangNya...
(Love you forever because of Allah A, you are the best gift from Allah)
Wednesday, July 13, 2005
MENGGENAPKAN SETENGAH DIN
Kubuka biodata itu. 3 lembar saja. Kalimat terakhir dari kertas itu berbunyi: menginginkan istri yang sholehah, penyayang, penyabar dan mau menerima apa adanya. Biodata yang baru pertama kali aku terima. Dari seorang yang muda usia, tapi berani mengarungi samudra.
"Saya dua tahun lebih tua dari kamu..."
"Kan saya sudah tahu..."
"Saya aktif diberbagai organisasi, seringkali keluar, kesana-kesini..."
"Yaa...asal untuk dakwah..."
"Kalau nanti ternyata saya tidak secantik yang kamu bayangkan..."
"Saya akan terima apa adanya..."
Semua pertanyaan itu dijawabnya dengan kalem. Sesuai dengan sosoknya yang pendiam dan lebih banyak bekerja. Seorang perekam fakta, salah satu andalan negeri bertuhan rating. Lihat saja hasil gambarnya di banyak episode yang mengisahkan tentang warna warni Islam atau impian dari para pengamen jalanan. Kutarik nafas panjang, satu pertanyaan pamungkas belum kulontarkan.
"Mengapa kamu memilih saya, yang tidak cantik, dan sangat biasa-biasa saja..."
"Karena kamu sholehah..."
Cukup sudah. Bukan kecantikan duniawi yang ia cari. Hanya sesosok wanita yang mau temani hari-harinya, temannya berbagi keluh kesah, mewarnai hidupnya yang kerap sendiri. Seperti impian yang ia torehkan dalam biodata itu.
...mencari kekasih untuk beribadah, hingga akhir jannah-Nya....
(Doakan kami, agar hati tak terkotori, sebelum masuk ke gerbang suci-Nya)
Tuesday, April 26, 2005
MENGUBAH JALAN HIDUP
Ketika satu pintu dipilih, maka akan merubah ratusan pintu lain yang berada dibelakangnya, seperti itulah takdir. Sesungguhnya manusia sendiri yang tentukan jalan hidupnya melalui pilihan tersebut..."
Begitu pesan Ustadz Asdar saat kajian 2 pekanan majlis kami 2 pekan lalu. Tema kali itu agak berbeda, agak sensitif. Coba saja lihat pamflet yang kutempel disamping lift, tertulis judul besar-besar "Menikah tanpa pacaran, mungkinkah?", dibawahnya 2 baris tertulis: akan ada pula testimoni dari pasangan yang menikah tanpa pacaran. Hasilnya... diruangan preview yang bentuknya berupa bioskop mini itu, tempat kami biasa mengadakan kajian pekanan, hadir 15 peserta, 12 seluruhnya wajah baru, 3 wajah lama, hampir semuanya....single, kecuali Sang Ustadz tentunya dan Ami, saudari tercinta yang akan memberikan testimoni, suaminya Mas Aris akan menyusul kemudian.
Tema provokatif itu (kata seorang abang), diangkat mengingat kondisi sebagian besar masyarakat negeri kami ini, yang statusnya single. Padahal jika dinilai dari penghasilan boleh dikatakan cukup, kecuali untuk mereka yang belum tahu arti bersyukur. Banyak yang ingin menikah, tapi banyak juga yang belum tahu caranya sesuai yang disyariatkan, maka digelarlah kajian itu. Lalu banyak pertanyaan terlontar, tapi tak semuanya bisa terpuaskan. Sengaja, kata Ustadz Asdar, supaya pesertanya penasaran lalu mencari jawaban dari berbagai sumber lainnya. Lalu ia titipkan sebuah pesan penutup,.."Sehebat-hebatnya manusia yang masih sendiri, belum ada apa-apanya dibandingkan mereka yang sudah menikah."
Entah apa yang ada dibenak semua peserta. Tertantang untuk menikah atau surut kebelakang dan malah ragu. Semoga tidak. Semoga mereka masih mau datang saat tema-tema itu kembali dibahas 2 minggu yang akan datang. Semoga ada yang segera memutuskan hubungan tak halalnya dan memilih untuk segera menikah. Lalu saat do'a penutup majelis dilafalkan, kubaca sebuah sms dari seseorang yang sangat kuhormati.
"In..alhamdulillah sudah ana dapat calon untuk iin, teman sekolah iin, tapi sabar ya butuh waktu untuk ikhwannya..."
(Kadang butuh keberanian untuk mengubah jalan hidup, tapi tak perlu ragu saat mengubah jalan hidup untuk menjadi lebih baik)
Ketika satu pintu dipilih, maka akan merubah ratusan pintu lain yang berada dibelakangnya, seperti itulah takdir. Sesungguhnya manusia sendiri yang tentukan jalan hidupnya melalui pilihan tersebut..."
Begitu pesan Ustadz Asdar saat kajian 2 pekanan majlis kami 2 pekan lalu. Tema kali itu agak berbeda, agak sensitif. Coba saja lihat pamflet yang kutempel disamping lift, tertulis judul besar-besar "Menikah tanpa pacaran, mungkinkah?", dibawahnya 2 baris tertulis: akan ada pula testimoni dari pasangan yang menikah tanpa pacaran. Hasilnya... diruangan preview yang bentuknya berupa bioskop mini itu, tempat kami biasa mengadakan kajian pekanan, hadir 15 peserta, 12 seluruhnya wajah baru, 3 wajah lama, hampir semuanya....single, kecuali Sang Ustadz tentunya dan Ami, saudari tercinta yang akan memberikan testimoni, suaminya Mas Aris akan menyusul kemudian.
Tema provokatif itu (kata seorang abang), diangkat mengingat kondisi sebagian besar masyarakat negeri kami ini, yang statusnya single. Padahal jika dinilai dari penghasilan boleh dikatakan cukup, kecuali untuk mereka yang belum tahu arti bersyukur. Banyak yang ingin menikah, tapi banyak juga yang belum tahu caranya sesuai yang disyariatkan, maka digelarlah kajian itu. Lalu banyak pertanyaan terlontar, tapi tak semuanya bisa terpuaskan. Sengaja, kata Ustadz Asdar, supaya pesertanya penasaran lalu mencari jawaban dari berbagai sumber lainnya. Lalu ia titipkan sebuah pesan penutup,.."Sehebat-hebatnya manusia yang masih sendiri, belum ada apa-apanya dibandingkan mereka yang sudah menikah."
Entah apa yang ada dibenak semua peserta. Tertantang untuk menikah atau surut kebelakang dan malah ragu. Semoga tidak. Semoga mereka masih mau datang saat tema-tema itu kembali dibahas 2 minggu yang akan datang. Semoga ada yang segera memutuskan hubungan tak halalnya dan memilih untuk segera menikah. Lalu saat do'a penutup majelis dilafalkan, kubaca sebuah sms dari seseorang yang sangat kuhormati.
"In..alhamdulillah sudah ana dapat calon untuk iin, teman sekolah iin, tapi sabar ya butuh waktu untuk ikhwannya..."
(Kadang butuh keberanian untuk mengubah jalan hidup, tapi tak perlu ragu saat mengubah jalan hidup untuk menjadi lebih baik)
Sunday, March 20, 2005
SEMOGA KAN TETAP SAMA
Kaget. Aku rasa sudah seharusnya, saat kau jawab e-mail yang menceritakan kemunduranmu dari barisan yang simbolnya dua pedang panjang bersilang. Meskipun seorang mas, sejak jauh-jauh hari mengatakan, kau sudah lama rajin mengikuti kajian-kajian itu. Katamu, banyak pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab, banyak kekecewaan dan banyak lainnya.
Biasa itu, kata seorang abang enteng. Ah Abang, aku belum terbiasa. Keberadaannya yang dulu, membuatku lebih nyaman mendiskusikan agenda dakwah, tenang bahwa diluar ikatan akidah sebagai sesama muslim, ada ikatan lain yang lebih erat, lebih kuat. Apalagi dia salah satu lokomotif dalam kereta dakwah kita. Di negeri bertuhan rating, yang dominasi warna tayangannya masih saja suram.
Tapi didalam manhaj itu, kau katakan telah menemukan kebenaran. Ya, semoga kebenaran yang kau temukan, tetap meningkatkan semangat dakwahmu, menjadikanmu manusia yang lebih baik dimata Sang Kekasih. Dan tidak melupakan tujuan keberadaanmu dinegeri ini.
(Semoga akan tetap sama, atau bahkan menjadi lebih baik, hubungan kita sebagai sesama muslim dan pengemban amanat dakwah?)
Kaget. Aku rasa sudah seharusnya, saat kau jawab e-mail yang menceritakan kemunduranmu dari barisan yang simbolnya dua pedang panjang bersilang. Meskipun seorang mas, sejak jauh-jauh hari mengatakan, kau sudah lama rajin mengikuti kajian-kajian itu. Katamu, banyak pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab, banyak kekecewaan dan banyak lainnya.
Biasa itu, kata seorang abang enteng. Ah Abang, aku belum terbiasa. Keberadaannya yang dulu, membuatku lebih nyaman mendiskusikan agenda dakwah, tenang bahwa diluar ikatan akidah sebagai sesama muslim, ada ikatan lain yang lebih erat, lebih kuat. Apalagi dia salah satu lokomotif dalam kereta dakwah kita. Di negeri bertuhan rating, yang dominasi warna tayangannya masih saja suram.
Tapi didalam manhaj itu, kau katakan telah menemukan kebenaran. Ya, semoga kebenaran yang kau temukan, tetap meningkatkan semangat dakwahmu, menjadikanmu manusia yang lebih baik dimata Sang Kekasih. Dan tidak melupakan tujuan keberadaanmu dinegeri ini.
(Semoga akan tetap sama, atau bahkan menjadi lebih baik, hubungan kita sebagai sesama muslim dan pengemban amanat dakwah?)
KEMATIAN ITU SPEKTAKULER
Kematian itu spektakuler, salah satu rahasia Sang Kekasih. Pagi ini, kuterima sms dari seorang sister, sebuah berita duka, ibunda seorang sister kami yang lain, Bunda Aklimah meninggal dunia pukul 03.00 dini hari. Suami sister kami itu mantan ketua DPRa, jadi tiap Sabtu sore kami pasti habiskan waktu untuk membahas agenda-agenda dakwah. Aku jadi teringat, wajah ramahnya yang tak lagi muda saat menerima kunjungan kami.
Bunda Aklimah, dengan penuh kesabaran mempersilahkan kami masuk, menyuguhkan kami minum. Pernah kulihat saat ia dengan sabar menyuapi suaminya, ayah sister kami, yang sudah terbaring lemah ditempat tidur sejak 2 tahun lalu, karena terserang stroke. Mengasuh salah satu cucunya, Aufa sigendut bulat, yang hiperaktif. Bahkan saat terakhir menjelang kematiannya, sebuah lemparan jambu klutuk hampir mengenai matanya. Namun ia tetap sabar mengasuh si Aufa kecil yang polos dan tidak tahu apa-apa. Sementara sisterku itu, anak Bunda Aklimah, Mbak Lia, merawat putri keduanya, Kayla, yang harus diopname dirumah sakit, dan dia sendiri yang nyaris diinfus karena diare.
Bunda Aklimah, yang sabar mendampingi suami, justru dipanggil terlebih dahulu oleh Sang Kekasih. Suaminya yang kini sudah duduk dikursi roda, memandang jasad kaku dengan tatapan hampa. Entah apa yang sedang dipikirkan.
(Kematian memang spektakuler, kapan datangnya tak ada yang tahu pasti. Tinggal kita bertanya pada diri sendiri, siapkah kita ketika kematian kan datang menghampiri?)
Kematian itu spektakuler, salah satu rahasia Sang Kekasih. Pagi ini, kuterima sms dari seorang sister, sebuah berita duka, ibunda seorang sister kami yang lain, Bunda Aklimah meninggal dunia pukul 03.00 dini hari. Suami sister kami itu mantan ketua DPRa, jadi tiap Sabtu sore kami pasti habiskan waktu untuk membahas agenda-agenda dakwah. Aku jadi teringat, wajah ramahnya yang tak lagi muda saat menerima kunjungan kami.
Bunda Aklimah, dengan penuh kesabaran mempersilahkan kami masuk, menyuguhkan kami minum. Pernah kulihat saat ia dengan sabar menyuapi suaminya, ayah sister kami, yang sudah terbaring lemah ditempat tidur sejak 2 tahun lalu, karena terserang stroke. Mengasuh salah satu cucunya, Aufa sigendut bulat, yang hiperaktif. Bahkan saat terakhir menjelang kematiannya, sebuah lemparan jambu klutuk hampir mengenai matanya. Namun ia tetap sabar mengasuh si Aufa kecil yang polos dan tidak tahu apa-apa. Sementara sisterku itu, anak Bunda Aklimah, Mbak Lia, merawat putri keduanya, Kayla, yang harus diopname dirumah sakit, dan dia sendiri yang nyaris diinfus karena diare.
Bunda Aklimah, yang sabar mendampingi suami, justru dipanggil terlebih dahulu oleh Sang Kekasih. Suaminya yang kini sudah duduk dikursi roda, memandang jasad kaku dengan tatapan hampa. Entah apa yang sedang dipikirkan.
(Kematian memang spektakuler, kapan datangnya tak ada yang tahu pasti. Tinggal kita bertanya pada diri sendiri, siapkah kita ketika kematian kan datang menghampiri?)
Tuesday, January 11, 2005
LEMAH DAN TAK BERDAYA
2 minggu belakangan ini layar kaca itu masih dipenuhi wajah-wajah duka, tangis adik kecil, ibu yang kehilangan anaknya, tatapan kosong tanpa makna. Kata Sherina, Sang Kekasih telah meluapkan amarahnya diujung Banda, kata Om Ebiet ini balasan bagi kita yang alpa. Lalu beberapa tim terdiri dari reporter dan kameraman langsung diterjunkan. Majlis Ta'limpun segera memasang pengumuman tiap lantai, galang dana bagi saudara-saudara yang tertimpa duka. Shalat Ghaibpun digelar, entah sekedar memenuhi kewajiban atau benar-benar mengirim doa bagi yang tertimpa musibah.
Lalu mulailah gambar hasil feeding dari Medan diterima, gambar-gambar bagus menurut kami yang katanya tak punya hati nurani. Mayat-mayat tak berbentuk, bangunan hancur, jadi materi yang siap edit. Ingin rasanya segera terjun kesana, sekedar memberi uluran tangan atau menghibur wajah duka, tapi apa daya, sekedar niat yang tak didukung langkah nyata.
"Bisa apa kamu disana, mau masak? kamu kan nggak biasa masak, mendingan Mama yang dikirim kesana, bisa masakin banyak orang..."
Begitu ketus Bunda, saat melihat ransel yang sudah siap mengcengkram dipundak, berisi pakaian untuk 2 hari, begitu percaya diri mampu berikan bantuan maksimal, meskipun tak tahu dapat berbuat apa disana. Larangan dari manajemen kantor, untuk tidak memberangkatkan relawan dari negeri bertuhan rating, semakin menutup kemungkinan untuk berjumpa adik-adik kecil di tanah Darussalam.
Jadi disinilah, aku yang lemah dan tak berdaya, memandangi wajah-wajah sendu adik-adik kecil, mengedit gambar mereka sebaik mungkin, sambil terus berdoa semoga banyak orang berempati dan belajar arti kehidupan dari gambar-gambar yang dipublikasikan.
(Sabar ya Dek, ada cinta-NYa dibalik murka-Nya)
2 minggu belakangan ini layar kaca itu masih dipenuhi wajah-wajah duka, tangis adik kecil, ibu yang kehilangan anaknya, tatapan kosong tanpa makna. Kata Sherina, Sang Kekasih telah meluapkan amarahnya diujung Banda, kata Om Ebiet ini balasan bagi kita yang alpa. Lalu beberapa tim terdiri dari reporter dan kameraman langsung diterjunkan. Majlis Ta'limpun segera memasang pengumuman tiap lantai, galang dana bagi saudara-saudara yang tertimpa duka. Shalat Ghaibpun digelar, entah sekedar memenuhi kewajiban atau benar-benar mengirim doa bagi yang tertimpa musibah.
Lalu mulailah gambar hasil feeding dari Medan diterima, gambar-gambar bagus menurut kami yang katanya tak punya hati nurani. Mayat-mayat tak berbentuk, bangunan hancur, jadi materi yang siap edit. Ingin rasanya segera terjun kesana, sekedar memberi uluran tangan atau menghibur wajah duka, tapi apa daya, sekedar niat yang tak didukung langkah nyata.
"Bisa apa kamu disana, mau masak? kamu kan nggak biasa masak, mendingan Mama yang dikirim kesana, bisa masakin banyak orang..."
Begitu ketus Bunda, saat melihat ransel yang sudah siap mengcengkram dipundak, berisi pakaian untuk 2 hari, begitu percaya diri mampu berikan bantuan maksimal, meskipun tak tahu dapat berbuat apa disana. Larangan dari manajemen kantor, untuk tidak memberangkatkan relawan dari negeri bertuhan rating, semakin menutup kemungkinan untuk berjumpa adik-adik kecil di tanah Darussalam.
Jadi disinilah, aku yang lemah dan tak berdaya, memandangi wajah-wajah sendu adik-adik kecil, mengedit gambar mereka sebaik mungkin, sambil terus berdoa semoga banyak orang berempati dan belajar arti kehidupan dari gambar-gambar yang dipublikasikan.
(Sabar ya Dek, ada cinta-NYa dibalik murka-Nya)
Subscribe to:
Posts (Atom)