Wednesday, June 23, 2004

3 SISTERS



Ada 3 jurnalis yang sedang membidik seorang tokoh dipanggung sana
Saat massa putih berkumpul diarena untuk buktikan jati diri
Ketiganya saat itu belum mengenal satu sama lain
Tapi kecanggihan dunia maya mempertemukan mereka
Dan sebentar lagi mereka akan bersua

Semoga Sang Kekasih mengizinkan
Terajutnya tali ukuwah
dari 3 Sisters

(Akh Fery, pinjam dulu fotonya ya, syukran)
HURU HARA DIMALAM BUTA



Pukul 23 lewat 3 menit, presenter tayangan Kupas Tuntas membuka acara, temanya kali ini tentang transeksual. Kisah manusia yang mengganti jenis kelamin sesuai pilihan hatinya. Pembukaan yang biasa disebut lead in berjalan lancar, masuk short bump, tulisan Kupas Tuntas melayang yang menandai persiapan masuk ke paket pertama. Kembali presenter membaca lead in paket, selesai, tapi kemana paketnya? Sang presenter cantik terdiam dilayar kaca.

Sementara itu diruang editing, semua mata memandang kemonitor. Editornya berupaya untuk tenang, paket yang seharusnya tayang detik itu, baru diprint alias direkam kedalam kaset DVC Pro, baru akan selesai 7 menitan lagi. Sang asisten produsernya yang muda usia, berkali-kali mengintip dari kaca dengan perasaan was-was. Jelas, paket yang harusnya tayang segmen pertama itu, harus mundur kesegmen berikutnya.

3 jam yang lalu, pukul 8 malam, reporter paket pertama itu masih sibuk mengetik naskah, baru 30 menit kemudian naskah bisa diedit. Harusnya 3 jam itu sudah bisa dipakai untuk full editing, bukan lagi saatnya mencari gambar untuk dimasukkan dalam komputer. Tapi yang ada, banyak materi gambar yang belum diinjust, proses editing terganggu, ditambah lagi soundbyte yang jadi unsur penting paket itu belum masuk. Semakin kacau. Hasilnya? paket segmen 1 itu tidak jadi maksimal, plus tidak bisa masuk kesegmen pertama. Lengkap sudah kekacauan.

Harusnya kita bisa belajar. Tayangan Kupas Tuntas bukan spot yang sifatnya diburu waktu, jadi pengambilan gambar, naskah dan editan paketnya seharusnya bisa lebih cantik dan menarik dibandingkan program spot news. Jika saja para kru muda usia itu, mau berpikir lebih dalam, kuasa yang ada ditangan mereka. Bagaimana memikirkan idealisme seorang jurnalis, bagaimana memikirkan social responsibility dari setiap tayangan, bagaimana sebuah kasus dapat tuntas dibahas, jika teknik yang mendasar dalam memproduksi sebuah program saja, tidak mampu direncanakan dengan matang.

(Saat Mengedit Paket Pertama itu)

Monday, June 21, 2004

MELURUSKAN DAKWAH SANG SUNAN



Sebuah program idealis dari pemilik negeri bertuhan rating diproduksi. Perjalanan Islam namanya, cerita sejarah masuknya Islam dinegeri ini. Tergambar dalam benakku kisah penyebaran Islam, perjuangan para wali, dan warna warni Islam yang merupakan rahmat. Seluruhnya 30 episode, akan ditayangkan dibulan mulia nanti, Ramadhan. Akhirnya, bisa merebahkan sejenak kepala yang sudah berbulan-bulan dipenuhi cerita darah dan kematian. Akhirnya bisa memberikan sedikit sumbangsih dengan mengedit program, yang Insya Allah bermanfaat bagi umat.

Empat buah paket selesai diedit, salah satunya diselesaikan dengan penuh perjuangan. Dan kelak program-program berikutnyapun demikian. Semata dilakukan agar penonton tak salah paham. Islam, yang penyebarannya banyak dibantu para wali, ternyata kini banyak disalahartikan. Lihat saja, bagaimana masyarakat berebut air bekas pencucian piring yang mereka anggap membawa karomah. Ada yang langsung diminum atau bahkan menggunakannya untuk mencuci muka. Piring atau tabsi tersebut bertuliskan Asmaul Husna, digunakan Sunan Gunung Jati untuk memperkenalkan nama-nama indah Allah, niat yang mulia, namun disalahtafsirkan.

Ada juga paket tentang berbagai aliran yang banyak ulama nilai, sesat. Kemarin Ve, salah satu reporternya berkunjung ke komunitas Ahmadiyah. Amipun menyambangi kelompok Syiah. Tugas maha berat, karena para reporter ini harus tetap objektif, tetapi objektif yang Islami, karena sesungguhnya 4 sifat mulia Rasululullahpun adalah sifat yang seharusnya terdapat dalam diri seorang jurnalis. Shiddiq (benar), maka Mustahil ia Kizib (dusta).Amanah (dapat dipercaya),maka mustahil Khianat (curang). Tabliqh (Menyampaikan wahyu kepada umatnya),maka Mustahil Kitman (menyembunyikan Wahyu). Fathonah (Pandai/cerdas),maka Mustahil Jahlun (Bodoh). Seorang jurnalis Islami, sudah seharusnya cerdas, dapat dipercaya dan menyampaikan yang benar.

Banyak gerak dakwah para wali yang sudah disalahgunakan dari niatnya semula. Mungkin inilah kesempatan teman-teman, para jurnalis Islami untuk meluruskannya. Tugas reporter untuk mempraktekkan 4 sifat Rasulullah dalam dunia jurnalistik, tugas kameraman untuk mengisinya dengan bidikan gambar dan audio yang tidak memotivasi audience menghidupkan budaya klenik tersebut dan tugas editor untuk mengemasnya menjadi paket yang dapat dipahami dengan benar. Mudah-mudahan.

(Untuk Tim Perjalan Islam: Ami, Dauz,Ve n Mutia...tetap semangat)

Thursday, June 10, 2004

SEPERTI ABI RHAY DAN NAJLANYA



Masuk keruangan itu kadang membuatku menghela nafas. Menebak-nebak cerita apa lagi yang akan disodorkan sang produser padaku. Kemarin, aku menyaksikan derita seorang keponakan yang hilang kehormatan dan disiksa hingga ususnya terburai oleh pamannya. 2 hari lalu naskah tentang ayah yang menghamili putrinya sendiri kusulap menjadi paket menarik yang menyayat hati. Kuingat beberapa waktu juga ada ayah yang tega membunuh 2 anaknya yang sedang lelap, istri dan dirinya sendiri menggunakan pisau dapur yang tumpul. Cerita-cerita seperti itu mengalir terus dalam ruangan itu dan masuk kedalam kepalaku. Hampir membuatku kehilangan hati, dan membenci sosok laki-laki yang selalu hadir sebagai tokoh jahat. Sampai...

Saat kulihat seorang ayah menggandeng tangan anaknya dengan penuh sayang, mengantarkannya hingga ke gerbang TK. Sampai, saat seorang ayah diangkot membangunkan putri yang tertidur dalam pangkuannya dengan lembut. Sampai kurasakan pelukan hangat Bapak saat melepasku pergi kekantor. Sampai saat kubuka sebuah situs yang menyegarkan pikiranku. Sosok laki-laki tidak selamanya jahat, masih ada sosok yang penuh kasih sayang, yang penuh perhatian kepada anak-anaknya, kepada keluarganya....

Seperti Abi Rhay dan Najlanya...
Seperti Pak Luthfie dengan pangeran dan putrinya...

(Thank you Abi Rhay dan Pak Lutfie, for refreshing my mind...)