Monday, November 20, 2006

JANGAN MENYERAH

Sabtu itu, kembali lagi kutapaki tangga lusuh menuju lantai 2 kampusku tercinta. Seperti 2 tahun lalu, saat diri semangat mengejar mata kuliah di pagi hari bersama teman-teman yang kini sudah menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ditemani Abiyank, kumulai lagi memperbaiki tugas terakhir yang sempat tertunda setahun. Tertunda karena amanah yang Sang Kekasih berikan, meliput fakta, menikah dan dikaruniai buah hati tercinta.

Bapak bijak itu masih murah senyum, pun saat kukenalkan Abiyank padanya. Dosen senior yang sabar mendidik mahasiswinya, meskipun sang mahasiswi sudah setahun hampir melupakannya. Lagi, ia buka lembar demi lembar halaman itu, merevisinya sambil sesekali menanyakan kabarku, dan memberikan semangat untuk bisa menyelesaikannya.

Hingga Februari, ku takkan terbebani pekerjaan kantor, waktu hanyakan kucurahkan untuk memperbaiki amalan untuk Sang Kekasih, belajar menjadi ibu yang terbaik bagi Zaif dan menyelesaikan studi yang sempat tertunda. Harus bisa, jangan menyerah, karena Sang Kekasih akan memberikan jalan bagi mereka yang mau berusaha.

(Sebuah lompatan besar diawali dari satu langkah kecil)

2 LELAKIKU

Bayi kecilku

Namanya Hudzaifah, biasa dipanggil Zaif. Eyang Putrinya pernah coba memanggilnya Udza, tapi kularang, karena mirip dengan tuhannya kaum jahiliyah, Latta dan Uzza. Jadilah ia dipanggil Jaifff n'dut. Tampan, dengan wajah bulat dan pipi tembemnya. Hidung dan bibir yang imut hasil jiplakan dari umminya dan sepasang alis tebal mirip abinya. Usianya nyaris 2 bulan. Sudah murah senyum kepada siapa saja yang mengajaknya, dalam tidurnyapun kadang ia tersenyum, bahkan kepada temannya yang kasat mata. Zaif, jago minum asi, kalau sudah minum harus sampai puas, setelah itu kedua matanyapun mulai menutup, tertidur. Beratnya sudah 5 kilo lebih, nyaris naik 2 kilo dari beratnya saat baru melihat dunia. Padahal setiap hari ia bisa buang air sampai 8 kali, tapi ternyata tak berpengaruh pada berat badannya, pun gerakannya yang kian lincah. Coba saja, baru ditinggal sebentar, Zaif tahu-tahu sudah berguling dan tengkurap. Kakinya kuat, jangan dekat-dekat kalau tidak mau kena tendang. Selepas isya adalah waktunya Zaif istirahat, tidak pernah nangis di tengah malam, karena Asi sang ummi selalu tersedia disisinya. Malam itu ia tertidur, pulas ditemani Abi tercinta yang baru saja pulang selepas kajian. Zaif, bayi kecilku.

Bayi besarku

Abu Hudzaifah namanya, biasa dipanggil Abiyank singkatan dari Abi Sayang. Lelaki muda dengan segudang impian yang kami coba bangun bersama. Masih kikuk dengan kehadiran bayi kecilnya, menggendongpun masih takut-takut. Yang ia suka, mencium Zaif dengan jenggotnya dan senang ketika Zaif menggeliat kegelian. Abiyank yang menemani ummi mulai dari ruang observasi hingga Zaif lahir kedunia, bahkan mendokumentasikannya dengan handycam. Di ruang itu, gema takbirnya mengiringi kelahiran Zaif, memegangi tangan dan mencium kening ummi saat kelelahan usai melahirkan. Abi sayank baru belajar jadi Abi yang baik untuk Zaif, karenanya jauh-jauh hari sudah membangun rencana mau masukkan Zaif ke pesantren saat usia 6 tahun. Biar jadi hafiz qur'an katanya, biar jadi anak yang berbakti bagi agama, biar jadi Ustadz penerus generasi salafus salih. Malam itu, Abi sayank tertidur pulas di samping Zaif, menemai ummi, kalau-kalau Zaif perlu diganti popoknya atau minta disusui. Abi sayank, bayi besarku.

(Untuk Muhammad Firdaus dan Hudzaifah, 2 lelaki tercinta)