Wednesday, November 16, 2005

AKHIRNYA IA DIJEMPUT PARA MALAIKAT



Kuangkat hp yang deringnya berdendang bulan dan bintang saujana, salah satu nasyid favoritku.

"Mba sudah tahu?"
"Ya.."
"Bulek Tini dah meninggal dah tahu..."
"Ya..."

Endah adik ketigaku, yang sehari-harinya tak banyak bicara, membawa berita itu. Bulek Tini, tantenya My Mom, yang seharusnya aku panggil Mbah, akhirnya dijemput para malaikat 2 hari lalu, pukul 11 siang. Mendengar berita aku hanya bisa menerawang. Apakah ini...akhir penderitaannya setelah berbulan-bulan digerogoti kanker payudara yang menyebar keseluruh tubuh. Atau justru...awal penderitaan, awal penderitaan dialam yang lain, alam dimana para malaikat datang dengan serentetan pertanyaan.

Mbahku yang masih muda usia, sibungsu dari puluhan bersaudara, berpindah keyakinan setelah dipinang kekasih pilihannya. Agama rahmat bagi seluruh umat, ia lepas demi memeluk agama dari pulau dewata. Selama belasan tahun hidupya terlihat bahagia. Dikaruniai 2 anak, putri cantik bermata sayu yang pandai melenggangkan berbagai tari, dan putra tampan yang tak banyak bicara. Hidup dari sebuah toko sederhana. Hingga...

Hingga penyakit itu datang. Kanker yang menggerogoti tubuh mungilnya. Satu payudaranya terpaksa diangkat. Tapi ternyata akar-akar kanker itu sudah membenam kebagian tubuh lain, menyebar, membunuh sel-sel hidup ditubuhnya. My mom, pernah merasa bersalah. Karena beliaulah yang mengenalkan dengan sang kekasih pujaan yang berbeda keyakinan.

"Mama dah bilangin, bulik, kalau mau sembuh, bulik harus ngucap syahadat lagi, tapi dia bilang wis, podo bae, kabeh nyembah gusti alah sing tunggal, ya...Tuhan..."

Akhirnya My mompun tak kuasa berbuat lebih. Begitupun aku, saat detik-detik terakhir, mencoba sembunyi-sembunyi berbisik lirih ketelinganya.

"Mbah, minta sama Allah saja ya...bilang, Allah saya mohon disembuhkan dari segala penyakit, saya meyakikinimu sebagai Tuhanku...ingat Allah saja ya mbah..."

Tapi kini tubuhnya telah terbujur kaku. Pucat. Dikelilingi asap dupa yang dibawa para kerabat. Para tetua tak henti mendendangkan kidung-kidung kesedihan menyanyat disekitar jasad. Puluhan pelayat dengan seutas kain hijau atau kuning keemasan terikat dipinggang, memenuhi halaman depan. Lusa usai purnama besar, tubuh Le Tiniku akan dikremasi, abunya sebagian dilarung kelaut, dan jiwanya....

(Masih bisakah kupanjatkan harap?)